Ketika
menunggu adalah satu dari pilihan yang kau ingin untuk lakukan, apakah kamu
masih perlu mencari alasan lain lagi untuk menjelaskan itu?—Lulan
Gadis itu berdiri agak
jauh dari rel. Lehernya sesekali mendongak menatap jalannya kereta api. Aku hanya terpaku di
tempat. Mataku sudah cukup melihat semuanya. Tanpa penjelasan. Tanpa jawaban
atas banyak pertanyaan tentang ‘mengapa’. Gadis itu. Ya, gadis itu adalah
alasan kenapa kakiku bergerak melangkah membuntutinya sampai di tempat ini. Ternyata
aku salah. Gadis itu. Ya, gadis itu. Apa aku bisa menjelaskan hal lain lagi
tentang bagaimana sosoknya selama ini?
Aku tertipu.
Mulutku hampir menganga
menyaksikan gadis itu yang kini hanya bisa berdiam di tempatnya. Tak beranjak.
Tak berniat berpindah dari posisi awalnya. Dia masih tegak berdiri di tempat
yang sama. Berbagai pertanyaan berkelebat hebat di kepalaku.
Apakah cukup dari sini
aku bisa mengawasinya?
Dia membutuhkan,
setidaknya, seseorang yang berdiri tepat di sampingnya.
“Ah,” gadis itu menunduk,
mendesah lebih pada dirinya sendiri. Aku melihatnya menghembuskan nafas.
Tanganku bergerak
menyodorkan sapu tangan. Cukup lama tanpa balasan, akhirnya gadis itu mendongak
dan mendapati tanganku terulur di depannya. Gadis itu melongo, lalu menoleh
tepat ke arahku. Aku menatapnya. Menatap detail wajahnya yang terpahat sempurna
oleh Sang Maha Kuasa. Ada titik-titik air yang mengendap di balik kantung
matanya. Ah, dia hampir saja menangis. Oh, tidak. Kini, titik-titik air itu
meleleh di pipinya. Kami saling berpandangan. Aku menatapnya yang kini
sesenggukan dengan air mata yang terus berlinang, dan dia yang menatapku tanpa gerakan apapun selain
naik-turun bahu karena isak tangisnya.
Dia hanya bisa terus menangis.
Kami berdua saling
berpandangan, meski bisa kulihat kini gadis itu menunduk mencoba menghentikan
tangisnya. Bahunya terguncang oleh sesenggukan. Aku menatapnya lalu mengulurkan sapu tangan ke arahnya dan menggerakkan
tanganku pelan-pelan di pipinya. Gadis itu tidak mendongak seperti pada awalnya.
Dia membiarkan sapu tanganku mengusap air matanya.
Awalnya aku tak
menyangka gadis seperti Lulan adalah gadis yang sebenarnya sangat rapuh.
Dibalik keceriaannya, dibalik senyumnya yang selalu ia bagikan kepada semua
orang, dibalik tingkah-tingkah enerjiknya, sebenarnya gadis itu hanya berusaha
menutupi kesedihannya. Aku tak pernah menyangka Lulan sebenarnya sangat
cengeng. Gadis itu, bagaimana bisa dia memiliki kepribadian ganda?
Ia mendongak menatapku.
Sapu tanganku masih menempel di pipi kirinya. Dengan lembut gadis itu
melepaskan tanganku dari pipinya. Sambil tersenyum, ia membalikkan badan dan
berjalan menjauhiku. Aku heran. Namun sepersekian detik itu aku hanya bisa
melihat punggungnya menjauh. Tanpa kata-kata dia berlalu, kecuali senyum. Ah,
senyum itu. Kenapa bisa dia begitu mudah melukis senyum untuk orang lain ketika
dia sendiri tak yakin apakah dia baik-baik saja.
Tapi
kenapa aku juga begitu peduli? Aku tersadar. Aku baru saja melakukan
hal-hal diluar perkiraanku.
0 Response to "It Calls.. Love"
Posting Komentar