menu menu menu 'si chubbie' :)

Re-memori My LOL Sweet Sixteenth Birthday :*

ini nih temen-temenku seperjuangan di EEC level PASCA MC 30 :)
Ganteng* dan cantek* yaaaah :D
hayoooh tau ngga , aku yang mana ? :p
ini foto diambil waktu selesai maem* bareng , terus si Bachiez dkk ngerjain aku , dengan cara menyiram seluruh bajuku dengan air = . = "
*anduuuuk .. mana anduuuuuk = . = "
berrrrr ... dingiiiiin , tapi terharu campur seneng sih ,
di ulang tahun keenambelasku , temen-temenku masi peduli :')
Thanks Guys :")
masi inget nih cuplikan ucapan dari temen-temenku :
Bachiez : happy birthday yaa .. 
wish you be the best for all people who loved you :) hehe
*sampe sekarang aku bingung dan gangerti maksudnya :D
Kalo kamu baca ini , plis jawab yaa :D hahahaha XD
Iqbal : Met ultah sobat , sukses slalu yaa ..
Banca.ane ojo lali , hehehe
yang Bleki sama Izam enggak yaaa , cz aku lupa :D hahaha maaf kawaaan :D

SUREPRISE dari cowo dan temen-temenku nih :)
asiiiiiiik , tart-nya warna ungu loh :D
warna fave-ku :)
sebenernya , aku seneng :)
tapi 'agak' kecewa ..
kenapa ?
karena .. karena .. karena GUA PENGEN DIGEBYOOOOOOOR > . <
huhuhuhuhuhu :'(
tapi malah ditolet-tolet pakek krim = . =
mana mbekas di seragam pramukaku lagi .. dan ajaibnya sampe sekarang bekasnya nda bisa ilang !
hayoooh tanggung jawab kalian semua !
*polisiiiiii ... mana polisiiiiii > . <
but , thanks bwt kadonya yaaa , bby :*
LOVE YOU begete dah ! :D :*
*ini dia kado dari bby.ku :* :)
trims yaah :D

Thanks For Everything That You Gave me at my 16th birthday :*
You , All of you , guys :)
I never ever forget that moment :)
You're My Everything :*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Cerpen : Tuhan, Bawa Aku Ke Paris


Hatiku bergetar. Aku masih berdiri menatap bayanganku lewat pantulan air dari aliran sungai kecil, Seine. Kubiarkan semilir angin menyibakkan ujung-ujung kerudungku yang mulai berkibar pelan. Titik-titik air terbendung di sudut mataku. Tanpa sadar, titik-titik air itu meleleh. Merembes melewati pipi mungilku. Aku menangis haru atas kenyataan yang bagiku adalah sebuah mimpi yang tak nyata, namun dalam sekejap menjadi suatu hal ajaib yang mampu merubuhkanku dalam ketakutan. Champ de Mars menjadi saksi bisu atas kebahagiaan yang tak masih tak mampu kuluapkan dalam kata-kata. Benarkah ini? Benarkah aku tengah berdiri di depan Menara Eiffel? Benarkah aku sudah berada di Paris?
Kurasakan sebuah tangan bergerak menyentuh tangan kananku. Menyelipkan jari-jarinya di sela jari-jariku dan menggenggamnya erat. Aku menoleh padanya. Begitupun dia. Rasanya seperti de ja vu. Sayup terdengar burung-burung gereja berseliweran sambil bersiul diatas menara.
Welcome to Paris,” suaranya yang serak basah tertangkap oleh telingaku. Aku tersenyum. Ada semacam perasaan bahagia di hatiku, terselip di antara rongga-rongga dadaku hingga sempat membuatku sedikit sesak napas. “Akhirnya...” ujarku setelah lidahku sempat kelu beberapa saat. Kak Veno menatapku sambil tersenyum. Senyumnya tulus. Membuat hatiku sedikit tenang.
***
Aku hanya gadis kecil yang tak pernah berhenti bermimpi. Aku hanya satu dari ribuan, bahkan jutaan gadis kecil yang punya mimpi. Tiap goresan pena kehidupanku adalah angan dan mimpiku ke depan. Aku bukan terlahir sebagai gadis yang seutuhnya meraih kesuksesan di awal cerita, bahkan aku tidak pernah memperoleh itu. Aku hanya berusaha agar mimpiku tidak redup, karena sebagian dari nafasku, kuperjuangkan untuk meraih mimpi itu.  
Aku hanya satu dari ribuan harapan yang nyaris menghilang. Berkali kualami pahitnya kegagalan, pedihnya dicampakkan, dan pilunya dikucilkan. Namun aku tetap berusaha berdiri tegar. Inilah kisahku, kegagalan yang tak pernah ada habisnya, namun berbuah menjadi kesuksesan yang akan terkenang sepanjang masa.
***
            Kubolak-balik satu per satu koran yang menumpuk di depanku, bersanding dengan beberapa majalah yang baru terbit. Mataku menelisik kalimat demi kalimat yang terpampang di koran. Rasanya aku tidak menemukan cerpen kirimanku minggu lalu. Ada sedikit, sedikit sekali perasaan kecewa. Oh, tidak, mungkin cukup banyak. Tuhan, aku kecewa.
            “Kakaaaak, nggak ada!” seruku sebal. Suara dentuman langkah kaki Kak Veno terdengar mendekat.
            “Kok bisa sih? Udah bener kan kamu kirim di alamat e-mail yang kakak kasih?” ujar kak Veno, gusar. Sambil memaksakan tangan rampingnya memunguti satu per satu koran yang berceceran di lantai ruang tamu.
            “Udah kak, aku yakin kok,” ujarku sambil memaksa mataku untuk tetap tak lepas membaca lembar demi lembar koran yang ada di tanganku. Berharap ada judul cerpenku terpampang disana. Setidaknya, hanya itu yang bisa membuatku lega saat ini.
            Sudah 3 bundel koran yang aku obrak-abrik, dua buah majalah remaja yang ter-update bertengger diatas meja, tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku memaksakan diri untuk menahan gemuruh kekecewaan yang mengendap dalam hatiku. Kak Veno memandangku.
            “Masih ada kesempatan lagi nanti,” ujarnya sambil tersenyum tulus. Aku mengangguk sambil terus melipat bibirku. Padahal 90% harapanku kugantungkan dalam cerpen itu. Ini ratusan kalinya cerpenku tidak dimuat lagi di koran dan majalah. Tuhan, aku harus kuat!
            Keesokan harinya, koridor ruang kelasku, XI IPA 4, di SMA Bhayangkara, menjadi saksi ketika aku memutuskan untuk menemui bu Irma, perihal keinginanku untuk mengikuti sebuah seminar cerpen yang diadakan oleh sebuah universitas negeri di wilayahku.
            “Bu Irma,” panggilku pada wanita berjilbab yang tengah berjalan mendahuluiku.
            “Ya? Ada apa Ayla?”
            “S...saya, ingin sekali ikut seminar cerpen itu bu. Bolehkah?”
            Bu Irma menatapku sebentar. Raut wajahnya menunjukkan keragu-raguan yang amat jelas. Aku menatapnya, dalam hati terus berharap bu Irma akan menjawab ‘iya’.
            “Ya, nanti saya pikirkan kembali,” jawab bu Irma singkat. Lalu beliau pergi meninggalkanku. Aku bengong. Ada sedikit perasaan kecewa, tapi tak apa, mungkin bu Irma hanya butuh beberapa perwakilan saja. Aku kembali ke kelas dengan perasaan tidak puas.
            Angin membawa lamunanku melayang menembus awan senja. Aku bisa merasakan tetes air mata lembut itu mengalir pelan lewat kelopak mataku, berjalan pelan menuruni pipiku. Ya, aku kecewa. Aku kecewa ketika menerima kenyataan bahwa bu Irma tidak mengizinkanku untuk mengikuti seminar cerpen itu. Ya Tuhan, padahal itu mimpiku. Cerpen adalah hal yang kusukai, dan cerpenis adalah cita-citaku dari kecil. Ah, sudahlah, mungkin memang belum saatnya aku mendapatkan kesempatan itu. Harus lebih sabar lagi, ya! Support-ku dalam hati. Selembar daun kering melayang tepat ke arahku. Aku mengambilnya dan menuliskan sesuatu di permukaan daun kering itu.
Tuhan, bawa aku ke Paris.. bawa serta cita-cita dan anganku kesana..
 Dan detik berikutnya kubiarkan angin senja membawa pergi daun kering itu menjauh dariku. Aku tak bergeming dari tempatku.
***
“Hentikan saja kegiatan menulismu itu! Untuk apa membuat cerpen, tidak ada gunanya! Utamakan belajarmu!” di suatu sore, ketika aku tengah asyik memainkan jari-jariku diatas keyboard, ucapan itu seperti petir yang menyambar seluruh isi hatiku. Aku tertegun ketika ayah berucap demikian. Aku tak percaya. Benar-benar tidak.
“Mubadzir kalau komputer ini hanya digunakan untuk membuat cerpen!” kalimat terakhir ayah sebelum beliau berbalik arah meninggalkanku. Hatiku tersayat. Rasanya semua tubuhku membeku. Kak Veno mendekat ke arahku. Memelukku erat lalu membiarkanku bersandar di bahunya.
“Kakak, Ayla nggak percaya ayah bisa bilang gitu,” ujarku sesenggukan. Kak Veno mengangguk kecil.
“Tunggu sampai beliau tahu bakatmu, dek. Teruskan ya, kakak dukung kamu seratus persen,” hibur kak Veno.
Saat itu, aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan menunjukkan kepada ayah, bahwa gadis kecilnya masih bisa jadi yang terbaik baginya.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Sangat cepat, karena aku ingin mengulang waktu dimana aku menjadi seorang Ayla yang penuh dengan rintangan dalam menjalani hidupnya, demi sebuah hobi sederhana. Aku ingin mengulang waktu dimana aku menjadi seorang Ayla yang masih menitikkan air matanya ketika ia gagal, jatuh, dan kecewa. Aku ingin mengulang waktu dimana aku menjadi seorang Ayla yang masih belum mendapatkan kesempatan untuk apa yang diinginkannya.
Tapi sekarang, rasanya itu adalah sebuah pelajaran.
Kini, sebuah surat pemberitahuan tentang beasiswaku untuk bersekolah di Paris sudah berada di tanganku. Bergetar, ya, tentu saja, aku mendambakan ini semua. Jauh, jauh sebelum aku membayangkan indahnya menara Eiffel dan segala yang berkaitan dengan Paris. Jauh sebelum aku mengimajinasikan kakiku berpijak di kota yang terkenal dengan menara yang tergabung dalam seven of miracles in the world  itu.
Ternyata, cerpen berbahasa asing yang aku kirimkan berbulan-bulan yang lalu lewat e-mail untuk mengikuti lomba cerpen di Paris itu mendapat juara 3 kategori cerpen remaja. Padahal aku sendiri tidak pernah menduga kalau minat itu berbuah manis untukku. Bahkan aku yang tidak menarget apa-apa untuk lomba itu, mendapat kejutan manis tak terduga.
Dan sekarang...
Paris menjadi saksi atas kerapuhanku ketika aku masih bermimpi hingga aku berhenti untuk memimpikan hal yang sama. Aku percaya Tuhan tak pernah tidur. Dia hanya menitipkanku pada keadaan yang membuatku tetap tegar, dan ketika waktunya tiba, aku akan menemukan pelajaran berharga dibalik kegagalanku.
Selembar daun kering melayang terbawa angin ke arahku. Aku masih berdiri di tepi sungai Seine. Daun itu berhenti di telapak tanganku. Hatiku bergetar lagi. Tulisan tanganku bertahun-tahun yang lalu masih terlihat jelas disana.
Tuhan, bawa aku ke Paris.. bawa serta cita-cita dan anganku kesana..

SELESAI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS