menu menu menu 'si chubbie' :)

Novelet ; Please, Don't Make Me Fall In Love!


Ada cinta, yang kurasakan saat bertatap dalam canda..
Ada cinta, yang kau getarkan saat ku resah dalam harap..
            Galau.
            Mungkin kata itu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan yang kualami saat ini. Bimbang antara cinta dan suka. Aku mencintai seseorang, tapi aku juga menyukai seorang yang lain. Tak pelak jika dua hari ini teman-temanku selalu menanyakan apakah gerangan yang terjadi, sehingga mampu menyulap Adina yang biasanya ceria, jadi agak murung dan sering melamun.
            “Muka udah jelek, malah ditekuk-tekuk gitu,” ujar Imah. Aku melotot. Tapi dua detik kemudian kembali melamun.
            “Galau,” balasku cuek sambil memainkan pensil warna. Tanganku usil menggambar hati dan mewarnainya sampai penuh. Haduh, lagi galau, bawaannya pengen gambar-gambar yang berbau cinta-cintaan deh!
            “Galau kok sempet-sempetnya gambar love,” balas Imah. Sedetik kemudian wajahnya sumringah. “Pasti galau gara-gara cowok ya? Hayo ngaku, hayo!” ujar Imah sambil mengguncang-guncang lenganku. Aku makin galau.
            “Iya nih,” aku mengakui. Imah berbinar-binar.
            “Kenapa? Ada masalah sama Reval ya?” by the way, Reval itu cowok yang udah setahun dua bulan resmi jadi pacarku. Aduh nih anak! Udah sotoy, salah lagi tebakannya!
            “Bukan,”
So?”
Aku terdiam menatap wajah Imah. Memikirkan sesuatu, tapi tak jelas apa yang sedang kupikirkan. Saat sedang asyik merenung, terlintas bayangan cowok yang sudah membuat hatiku galau dua hari terakhir ini.
Namanya Abbas. Dia teman sekelasku di bimbel. Kalau ingat Abbas, aku jadi ingat segala yang menyangkut tentangnya. Wajahnya, gayanya, sikapnya, tawanya, senyumnya, tatapan matanya saat membantuku menjawab pertanyaan dari teman, sorot matanya yang lembut saat berpapasan denganku. Aaargh! Inikah cobaan untuk cintaku? Haduh pliss deh Bas, kenapa kamu harus hadir di hidupku waktu aku udah pacaran selama setahun? Emang setahun itu bentar apa? Lama tau! Pertahanin hubungan sama pacarku sampe setahun itu gak gampang! Eh, tapi dengan gampangnya kamu hadir di hidupku, terus diam-diam menyelinap di hatiku, sehingga menyuruh otakku untuk terus memikirkan kamu! Ya ampun Abbas, pliss jangan buat aku bingung!
Imah bengong melihat ekspresiku yang serius, tapi nggak enak banget buat dipandangin lama-lama. Imah menjitak kepalaku.
“Aww!” keluhku sambil mengusap pelan jitakan dari Imah yang seenak udelnya mampir di kepalaku yang imut.
“Ditanya malah bengong,” ujar Imah. “Udah nungguin ceritamu daritadi nih!” Imah sebal. Aku menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
“Aku suka sama temen les-ku,” ujarku lemas. “Namanya Abbas. Dia cakep, manis, tatapan matanya yang buat aku melayang,” lanjutku.
“Ooh,” Imah melongo. “Terus, Reval mau dikemanain?” lanjut Imah.
“Lha itu,” ucapku sambil meletakkan pensil warna yang sedari tadi kupegang. “Enaknya dikemanain?” ujarku polos. Imah menjitak kepalaku lagi.
“Aww! Sakit tau! Main dijitak-jitak aja nih kepalaku!” sewotku. Imah nyengir.
“Aku sayang sama Reval. Kamu tau kan udah berapa lama aku sama Reval pacaran. Dia terlalu manis buatku. Manis dalam arti, semuanya. Sikapnya, perhatiannya, sayangnya, segalanya. Dia juga yang selama ini udah buat aku bahagia mencintai dan dicintai orang lain,” cerocosku. “Tapi aku nggak bisa memungkiri hatiku, aku lagi kagum sama Abbas. Dia terlalu cepat mengisi hatiku, tapi nggak permisi! Bilang permisi kek, mau numpang di hatiku bentar. Gimana ya? Hmm... kalau dibanding sama Reval, Abbas emang nggak ada apa-apanya. Jauuuuuh! Pliss deh, jangan tanya ganteng mana Reval sama Abbas. Ya, anak TK juga tau pasti ganteng Reval. Jauh! Tapi, aku suka sama Abbas karena terbiasa. Aku terbiasa diolok-olok guru dan temen-temenku di bimbel kalo ada hubungan spesial sama Abbas, padahal enggak sama sekali. Kamu juga tau kan, tresno jalaran soko kulino. Hehehe,” aku nyengir kuda. Imah tersenyum penuh arti.
“Rasa kagum itu alamiah kok. Kita sebagai cewek emang udah ditakdirin sama Yang Maha Kuasa buat bisa mengagumi dan mencintai kaum Adam. Tapi, kita juga harus tau, saat itu posisi kita dimana. Kamu kan udah punya cowok, jadi, kamu harus pikir ulang kalau kamu suka sama Abbas. Jangan biarkan hatimu terlarut terlalu jauh bersamanya,” saran Imah. “Aku percaya kamu bisa. Abbas masih dua hari di hatimu. Sedangkan Reval? Empat belas bulan di hatimu. Empat belas bulan Din! Empat belas bulan bukan waktu yang singkat untuk menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih di masa-masa SMA seperti kita,” lanjut Imah. Aku semakin bingung dibuatnya. Ada benarnya kata-kata Imah. Aku harus bisa mengatur hatiku.
“Kasih tau aku caranya biar aku bisa melupakan Abbas,” ujarku pada Imah.
“Gampang. Kamu harus jaga jarak sama dia. Anggap dia bukan Abbas, tapi orang asing yang nggak kamu kenal. Jangan biarin Abbas ngisi hatimu, sekalipun! Inget! Jangan biarin Abbas tinggal di hatimu,”
Lah kan? Bingung. Gimana bisa aku nggak ngebiarin Abbas tinggal di hatiku, padahal dia emang udah ada di hatiku dua hari yang lalu, sampai saat ini. Abbas... Abbas, why must I think about you? 
“Selamat siang anak-anak!” suara bu Dian terdengar di ruang kelas XI IPA 2. Sontak, teman-teman yang tengah sibuk dengan kegiatannya, bubar sendiri-sendiri.
“Selamat siang buuuu!”
“Hari ini ulangan harian!” seru bu Dian. “Siapkan selembar kertas!”
Dalam waktu tidak kurang dari sepuluh detik, kelas XI IPA 2 seperti sarang lebah. Protes kecil teman-teman sekelas seperti dengungan lebah. Ada yang uring-uringan, ada yang melongo kayak orang habis ngeliat setan, ada juga yang cekikikan karena mereka yakin di ulangan harian Kimia ini pasti nggak akan dapat nilai lebih dari angka 5. Sedangkan aku, hanya menatap kertas putih di depanku tanpa ekspresi. Ragaku memang masih ada di XI IPA 2, tapi pikiranku mengawang entah kemana. Abbas, Reval, Abbas, Reval... kalian ngebuat aku bingung sama perasaanku sendiri... bisikku dalam hati.
Pulang sekolah membuatku kepalaku semakin puyeng. Udah mikirin dua cowok itu, ditambah lagi ulangan dadakan Kimia yang soalnya naudubillah. Bayangkan saja, ulangan Kimia di jam terakhir, Cuma dikasih waktu setengah jam buat ngerjain 5 soal! Iya kalo soalnya macem anak SD “5+5=10. Kalo 5-5=0” Cuma dikasih 2 detik aja udah kelar. Lah ini? Harus puyeng dulu sama rumus-rumusnya yang seabrek. Belum lagi, kalo itungannya salah! Harus mulai dari awal lagi. Aaargh! Tapi meskipun tadi malam nggak belajar sama sekali, alhamdulillah nilaiku nggak jelek-jelek amat. Aku dapet nilai 75. Nilai pas-pasan tapi masih memenuhi KKM, walaupun nge-pas banget sama KKM! Itu artinya aku nggak remidi dan nggak harus menghadapi soal-soal remidi Kimia lagi. Alhamdulillah ya, something!
“Adina,” panggil seseorang di balik punggungku. Aku menoleh.
“Iya. Bentar ya, tungguin di luar bentar. Aku masih beres-beres buku,” balasku sambil mengemasi buku-bukuku yang berceceran di meja.
“Iya,” Reval berlalu. Imah menatapku.
“Jangan bawa-bawa masalah kamu di depan dia ya. Kasihan, dia kan nggak tahu apa-apa tentang Abbas,”
“Hussh! Jangan keras-keras napa,” bisikku pelan sambil melongokkan kepalaku ke arah pintu kelas, memastikan Reval tidak mendengar kata ‘Abbas’ yang diucapkan Imah barusan. Aku melotot ke arah Imah yang cekikikan tanpa rasa bersalah.
“Iya deh, sorry mamen,” ucap Imah.
I’ll try to forget him. Pray for me, Imah,” pintaku memelas. Imah manggut-manggut kayak dukun lagi ngobatin pasiennya. Lho?
“Gampang. Do’aku menyertaimu, hehehe,” balas Imah cekikikan. Aku tersenyum. Lalu kami berdua berjalan beriringan meninggalkan kelas.
“Udah?” tanya Reval sambil tersenyum. Aku tersenyum membalasnya sambil menganggukkan kepala.
“Duluan yee... nggak enak nih jadi setannya,” Imah nimbrung. Aku dan Reval tertawa.
“Iya deh, ati-ati ya,” balas Reval.
“Okeh sip! Dadah Adina jelek! Wekk!” Imah mencibirku. Aku balas mencibirnya. Reval tertawa kecil.
“Udah ah, ayo pulang,” ucapku pada Reval.
“Bentar. I have something for you,” Reval mengarahkan tasnya ke depan. Aku penasaran. Sesekali melongok ke arah tasnya.
“Apa sih?” tanyaku. Reval tersenyum misterius, lalu mengubek-ubek isi tasnya.
Close your eyes,” ujar Reval. Aku menuruti kata-katanya. Kupejamkan mataku perlahan.
“Taaddaa!” Reval meletakkan sebuah kotak kecil di tanganku. Aku membuka mataku.
“Apa nih?” tanyaku penasaran. Tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang tersungging di sudut bibir mungilku.
“Dibukanya ntar ajah kalo udah di rumah,” balas Reval. Aku menatapnya.
“Makasih ya,” ucapku.
“Sama-sama, sayangku,” balas Reval sambil tersenyum. Lima detik kemudian kami berjalan meninggalkan koridor kelas XI IPA 2.
Waktu yang tidak kutunggu-tunggu datang. Rasanya aku ingin sekali bolos dari bimbel hari ini. Tapi apa daya, aku bakal nggak dikasih jatah sangu kalau bolos bimbel. Hujan masih menyisakan rintik-rintiknya. Senja mulai memudar. Tinggal aku yang melamun sendiri menghadap jendela kamar yang mulai berembun sembari meratapi nasib.
“Kenapa aku harus suka sama kamu saat aku mencintai orang yang lebih dulu tinggal di hatiku,” gumamku pelan. Tak ada suara yang membalas gumamanku. Hanya suara rintik hujan yang jatuh berjama’ah di atas dedaunan dan ranting-ranting pohon yang bisa memberi jawaban.
 “Adina! Udah berangkat belum?” teriakan mama membuatku hampir mencelat dari tempat. Aku mengumpat dalam hati. Mama nih, nggak tau anaknya lagi galau juga!
“Iya mam! Habis ini,”
Aku segera mengemasi buku-bukuku. Lalu meletakkannya di belakang punggungku. Abbas, jangan buat aku suka sama kamu lagi hari ini. Pliss Bas, sehari ini aja! Jangan buat aku deg-degan kalo ketemu kamu. I still processing to forget you, boy!
Sebuah kotak kecil terbuka saat aku tak sengaja menjatuhkan tas sekolahku tadi. Sepucuk surat kecil menyembul dari dalamnya. Bersanding dengan mainan berbentuk globe dengan salju-salju yang runtuh di dalamnya. Terlihat dua pasang boneka yang mirip dengan manusia, cowok-cewek, yang saling tersenyum satu sama lain.
Aku Sayang Kamu, Adina..
Let me fill your heart, ‘till here after..

Love,
Reval
Jaket coklatku basah kuyup tersiram rintik-rintik air hujan saat dalam perjalanan menuju bimbel. Aku menggigil kedinginan. Setelah memarkirkan sepeda motorku di tempat parkir, aku segera duduk-duduk di kursi melingkar di dekat gerbang. Sembari menunggu adzan maghrib, aku membuka handphone-ku. 4 pesan baru! Huft, siapa yah? Mungkin Reval, yang menyuruhku tidur siang. Atau Imah, yang sekedar say hello, atau basa-basi menanyakan PR. Ufh!
Sender            : Revalku :*
Receive: 17.20 p.m
            Udah dbuka kotaknya? J
            Moga km sk yah syg, :*
            Lv you, J
            Plak! Aku lupa kalau tadi siang Reval ngasih sesuatu sama aku. Haduuh Adinaaa, kok bisa lupa sih? Dasar pikun! Aku menepuk jidatku.
            “Kenapa tuh jidatnya kok ditepuk-tepuk gitu? Nggak sakit ya?” tiba-tiba suara nge-bass terdengar di balik punggungku. Aku kenal suara ini, aku juga kenal bau parfum ini. Oh my God, aku baru saja pengen ngelupain dia!!
            “Oh... eh,” aku salah tingkah.
            “Aku boleh duduk?” tanyanya. Aku Cuma mengangguk pasrah. Cowok tolol! Ngerti dong kalo cewek di sebelahmu ini masih dalam proses ngelupain kamu!
            “Dingin ya,” ucapnya membuka percakapan.
            “Iya,” balasku. Jantungku berdegup lebih kencang. Dag-dig-dug-dag-dig-dug! Abbas, moga kamu gak denger degupan jantungku yang amburadul ini!
            “Aku juga heran kenapa harus hujan. Padahal kan, aku lagi bahagia. Masak hujannya nggak mau ngertiin aku sih,” ucapnya ngelantur. Matanya tak lepas dari langit. Dia memperhatikan awan yang mendung sambil memainkan kaki-kakinya.
            “Tapi aku enggak,” balasku. Ikut menatap awan mendung. Abbas menoleh ke arahku. Aduh! Jangan liat aku! Duh, deg-degan nih diliatin terus! Aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Rasanya ia menatapku cukup lama. Haduh, salting nih!
            “Emang kamu lagi kenapa?”
            “Ya... Galau aja,”
            “Biasa ya, anak muda. Sukanya galau melulu. Wkwkwk,”
            Eeeh... malah ketawa! Aku juga galau gara-gara kamu tau! Dasar cowok idiot! Bentakku dalam hati. Haduh, kok aku jadi kasar banget ya sama cowok?
            “Nggak juga sih. Tergantung suasana aja. Kebetulan dua hari ini suasananya lagi gak mendukung. Jadinya galau melulu aku bawaannya,” balasku. Abbas menatapku lagi. Hehe, lucu juga kamu kalo manyun gitu. Hih, jadi tambah gemes! Bisik Abbas dalam hati.
            “Galau kenapa sih?”
            “Emm... ng... kenapa ya? Ya gitu deh, bingung jelasinnya,” balasku gugup. Ya jelas bingung! Orang yang lagi buat kamu galau ada di sebelahmu! Bentak suara hatiku.
            “Mikirin cowokmu ya?” ujar Abbas. Ada raut tak senang saat dia berkata demikian.
            “Iya. Bisa juga. Tapi nggak terlalu sih,”
            “Mmm... maaf ya, kalau selama ini kamu nggak nyaman kalau pak Mardi dan temen-temen sering ngolokin kamu sama aku,” ujar Abbas. Ganti aku yang menoleh ke arahnya. “Sebenernya sih, aku nggak ada niat biar kita diolokin terus. Iqbal aja yang usil, jadinya ya... kayak gini. Maaf ya kalau kamu nggak nyaman,” lanjutnya. Aku mengangguk. Tau juga isi hatiku, Bas! Ada ikatan batin ya? Bisikku dalam hati. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Imah tadi siang. Kamu harus jaga jarak sama dia. Anggap dia bukan Abbas, tapi orang asing yang nggak kamu kenal. Jangan biarin Abbas ngisi hatimu, sekalipun! Inget! Jangan biarin Abbas tinggal di hatimu! Ya ampun, udah berapa lama aku tadi ngobrol sama Abbas? Aduh lupa! Aku kan lagi berusaha ngelupain dia. Kok jadinya? Aaargh! Pusing pusing!
            “Mmm.. Bas, aku duluan ya!” ujarku sambil bangkit dari kursi lalu meninggalkan Abbas yang belum sempat menjawabku. Ia hanya mengangguk lalu memperhatikan punggungku yang mulai bergerak menjauh darinya. Nice to spend my times with you, girl! Batin Abbas. Dia pun berlalu dari kursi. Sesekali menoleh ke arahku yang telah menghilang dari pandangannya.
             “Just stay away from me, Bas!” teriakku saat Abbas mendapatiku mendekati tebing yang terjal dan ia berusaha berteriak, berharap aku menghindari tebing itu.
“Adina, what’s wrong with you?” raut muka Abbas berubah khawatir. Titik-titik air mata turun dari sudut kelopak mataku. Abbas berlari mendekat. Kedua tangannya menggenggam tanganku yang dingin. Aku bisa merasakan aliran darahnya yang hangat.
“Aku bingung, Bas!” balasku sambil terisak. Abbas menggenggam tanganku lebih erat. Sorot matanya lembut, seperti biasa saat dia menatapku.
“Bingung kenapa?” tanya Abbas. Aku diam sepersekian detik berikutnya. Abbas mulai angkat bicara. “Aku nggak papa kok kalau kamu lebih memilih cowokmu daripada aku. Aku tahu, kamu juga suka aku kan? Karena aku juga suka kamu, Din. Aku suka sama kamu sejak pertama kita ketemu. Sejak kamu senyum pada semua teman-teman sekelas, tapi belum menyadari kehadiranku. Aku sayang kamu sejak kamu memanggil namaku di depan teman-teman sekelas. Sejak kamu tersenyum padaku. Aku tahu, mungkin rasa ini tak pantas singgah di hatiku. Tapi aku tidak bisa lebih lama lagi membohongi hatiku, Din. Aku sayang sama kamu, aku sayang sama kamu!” aku Abbas. Aku speechless. Jadi selama ini?
“Kamu... kamu?” aku tak sanggup berkata-kata lagi.
“Ya. Aku suka kamu, Din. Aku seneng tiap Pak Mardi dan teman-teman mengolok-olok kita berdua. Aku seneng liat ekspresi kamu yang malu-malu. Aku seneng liat kamu senyum dengan ke-childish-an sikapmu. Aku seneng tiap kamu menatapku. Aku seneng saat berdua sama kamu. Aku seneng tiap kali kamu bertingkah lucu. Aku sayang kamu, Din! Mungkin aku emang nggak pantes buatmu, tapi asal kamu tahu, aku juga bingung sebenarnya perasaan apa yang singgah di hatiku. Tapi kadang waktuku habis untuk memikirkan kamu, Din. Cukup dengan melihatmu, aku bisa terus mempertahankan perasaan ini,”
“Aaargh!” jantungku berdegup kencang. Bulir-bulir keringat menetes lewat dahiku. Aku bermimpi. Mimpi buruk! Oh God, tapi mengapa mimpi itu terasa nyata. Pikiranku melayang jauh memikirkan Abbas. Sekelibet bayangan tentangnya berputar di memoriku. Tuhaaan, aku bingung dengan perasaanku!
Kokok ayam Jago mulai membuka mentari untuk hadir di tengah suasana langit yang cerah. Pagi ini aku tak terlalu bersemangat ke sekolah. Mataku seperti panda. Lingkaran hitam yang mengelilingi mataku, membuatku seperti orang yang tidak pernah tidur semalaman. Ya, sejak mimpi buruk yang kualami kemarin, aku tidak bisa tidur lagi. Aku memikirkan kata-kata Abbas dalam mimpiku. Apa mungkin kata-kata dalam mimpinya melukiskan perasaannya terhadapku? Ah, berkhayal! Tidak mungkin Abbas menyukaiku. Mungkin kalau aku yang menyukainya. Tapi seratus persen aku tidak yakin kalau dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Entahlah, mungkin suatu saat nanti aku dapat jawaban atas pertanyaan ini.
            Alhasil, jadilah Adina sang Panda, datang ke sekolah dengan muka terlipat-lipat.
            “Lho lho, panda darimana nih? Jelek banget!” ejek Rico. Aku manyun.
            “Biarin. Jelek-jelek gini ada yang suka kok,” balasku cuek. Rico cekikikan.
            “Iya deh, percaya, yayangnya mas Reval,” cibir Rico. Aku melet-melet ke arahnya.
            Aku menatap mukaku lewat pantulan cermin kecil yang kubawa. Idih, jelek banget! Sumpah, jelek banget kamu hari ini, Din! Caciku dalam hati. Aku meletakkan cermin kecil itu ke dalam kotak pensil dan menelungkupkan wajahku ke meja. Aaaargh! What happen with you, girl!
            “Aaaargh! Galau galau galau!” seruku sebal. Tak sadar bahwa di depanku, Imah berdiri tertegun. Menatapku dari ujung rambut sampai mukaku yang terlipat-lipat.
            “Kamu anak mana?” tanya Imah blo’on. Aduh, nih anak! Udah tau temennya lagi sekarat gini, masih aja diajak becanda!
            “Plis deh, Imah. I’m your cuttiest friend!” sebalku sambil menjawil lengannya. Imah nyengir kuda. Huh, nyebelin!
            “Kenapa tuh mata? Begadang? Emang film apaan yang bagus hari Jum’at kemaren? Perasaan pada penuh sama berita penganiayaan majikan sapi kepada sapinya yang tidak bersalah. Hehe,” canda Imah. Haduh, garing! Kriuk-kriuk!
            “Garing! Kemaren aku nggak bisa tidur! Huwaaaah... aku mimpiin Abbas!” sebalku. Kukecilkan volume suaraku ketika mengucapkan kata ‘Abbas’.
            “Ciyeeeh... toooo tweeeeeeet,” goda Imah. Aku manyun.
            “Bukannya dibantuin, malah diledekin. Ledekin aja terus!” omelku pada Imah. Imah hanya cekikikan tanpa dosa.
            “Mimpinya gimana?” tanya Imah. Aku diam. Mencoba mengingat slide demi slide mimpiku tadi malam.
            “Simpel aja. Aku mau bunuh diri. Terus Abbas nolongin aku. Dia bilang sama aku kalau selama ini dia juga suka sama aku. Parahnya, dia sadar kalo gak seharusnya dia suka aku. Haduuuuh, maksudnya apa coba?”
            “Hehehe. Aku nggak punya primbon nih. Kalau dilihat dari mimpimu, kayaknya sih itu yang pengen diungkapin sama Abbas ke kamu, gara-gara gak kesampaian, makanya sampe kebawa mimpi,” balas Imah.
            “Kok bisa?”
            “Yaaa, bisa aja. Itu namanya telepati. Hehe, mungkin sih. Emangnya kamu gak pernah tahu gimana perasaannya selama ini ke kamu?” tanya Imah. Aku bengong.
            “Nggg... ya nggak tahulah. Aku nggak yakin dia juga punya perasaan yang sama kayak aku,”
            “Kok bisa yakin banget?”
            “Yaaa... yakin aja,” balasku sekenanya.
            “Kalo pengen tau, kamu bisa lihat dari tatapan matanya pas ngeliat kamu. Kalo ada yang beda-beda gimana gitu, itu berarti dia emang suka sama kamu,” ujar Imah. Aku berfikir sejenak. Kayaknya kok nggak bisa meyakinkan banget gitu ya caranya? Itu mungkin masih nunjukin berapa persen perasaan Abbas Cuma dari tatapan matanya.
            “Hmmm... gak tahulah. Bingung!” balasku. “Kira-kira aku salah nggak sih? Aku kan udah punya Reval,” lanjutku lemas. Kumainkan kuku-kuku jemariku. Ada sebersit perasaan bersalah menghantuiku. Antara Reval dan Abbas. Reval seperti satu kesatuan dalam hatiku. Tanpa Reval, aku Cuma seorang Adina yang nggak berarti. Reval seperti pahlawanku, dia yang selama ini selalu ada untukku, selalu ada, meskipun berkali-kali aku menyakitinya.
            Tapi Abbas? Dia baru tiga hari ini menempati hatiku. Baru tiga hari! Waktu yang cukup singkat namun sangat mempan untuk membuatku galau setengah mati. Tak ada yang spesial darinya. Sudah kubilang, aku menyukainya karena aku terbiasa dengannya. Terbiasa diolok-olok oleh teman dan guruku, terbiasa dengan keadaan bahwa seakan-akan kami berdua sudah pacaran, terbiasa dengan guyonan usil teman-teman sekelas di bimbelku. Ya, aku hanya terbiasa dengannya. Bukan mengizinkannya begitu saja menyelinap masuk dalam hatiku untuk menggantikan posisi Reval sebentar. Bukan!
            Akhirnya aku terlarut dalam pikiranku sendiri, sebelum Imah sempat menjawab pertanyaanku. Aku masih bergelut dengan pikiran antara ya dan tidak. Ya, untuk tetap mempertahankan Reval menjadi satu-satunya pangeran di hatiku. Dan tidak, untuk mengijinkan Abbas begitu saja menguasai hatiku yang telah kupersembahkan seutuhnya untuk Reval.
            Jika harus kuakui, mood-ku benar-benar jelek hari ini!
            Maafkan bila cintaku..
            Tak mungkin ku persembahkan seutuhnya..
            Maaf bila kau terluka..
            Karna ku jatuh.. di dua hati..
            Suara merdu Afgan terdengar lembut lewat earset yang kusambungkan dengan handphone-ku. Aku duduk-duduk di depan koridor kelasku sambil menunggu Reval. Imah sudah pulang beberapa menit yang lalu. Karena terlalu lama, aku iseng membuka akun facebook-ku. Mataku langsung tertuju pada satu nama. Abbas menjalin hubungan dengan Amila?! Aku tidak tahu siapa itu Amila, yang pasti aku shock. Tapi hati kecilku tersenyum. Ternyata Abbas sudah punya pacar. Itu berarti nggak ada kesempatan buatku suka sama dia, dan nggak ada kesempatan buat dia suka sama aku. Aku menghela nafas lega. Reval, makasih karena kamu nggak pergi dari hatiku... aku sayang kamu... bisikku dalam hati. Dari kejauhan, aku bisa melihat Reval tengah berjalan ke arahku sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum. Akhirnya, emang kamu Val, yang jadi satu-satunya di hatiku.. ucapku dalam hati. Nggak ada lagi Abbas, nggak ada lagi kata ‘galau’ dalam hatiku, nggak ada lagi cowok yang kupikirin selain Reval, dan nggak ada lagi Adina yang suka sama Abbas.
            “Pulang yuk! Maaf ya lama,” ujar Reval.
            “Iya gak papa kok. Yuk!” aku meraih uluran tangan Reval. Reval tersenyum lalu kami berdua berjalan beriringan meninggalkan koridor kelasku.
            Good bye, Abbas! Your name just a shadow in me..
THE END
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS