Hujan baru saja reda. Genangan air hujan yang
terdapat di beberapa titik jalanan kecil yang menghubungkan sekolah dengan
halte itu terlihat semakin berkurang karena kecipak-kecipak dari langkah kaki
murid-murid SD-SMP Cavendish II yang berlarian keluar gerbang sekolah, tak
sabar menyambut ayah atau ibu mereka yang sudah menunggu di luar halaman
sekolah. Ransel mereka bergoyang ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki
mereka yang berubah menjadi lari-lari kecil begitu melihat orang tua mereka
berada di depan mata.
Setidaknya,
ada satu gadis kecil yang tidak perlu berlari keluar dengan semangat yang
menggebu. Ia berjalan dalam diam, mengamit jaket biru muda tanpa hoodie di lengan tangannya, sembari
melihat ke arah teman-teman sebayanya yang berlarian dalam tawa. Beberapa dari
mereka saling mengejar untuk sekedar berebut cimol atau snack berhadiah di dalamnya.
Gadis
kecil itu tersenyum memandang mereka, namun tetap tenang dalam langkah
kecilnya.
“Wei wei!” seorang bocah laki-laki
menabrak pundak gadis kecil itu. Gadis kecil itu hampir terjatuh sebelum tangan
bocah itu meraihnya dengan satu gerakan cepat. Wajah gadis itu terlihat pucat, ketakutan.
Bocah itu menarik tangan gadis itu, lalu meminta maaf.
“Maaf, aku dikejar oleh me...”
Gadis kecil itu berlalu, tanpa berkata
apapun. Bocah laki-laki itu hanya bisa melongo untuk sepersekian detik
berikutnya. Hanya memandang ransel turquoise
itu bergerak menjauh dari pandangannya. Ia bahkan belum meneruskan kalimat
permintaan maafnya, namun gadis itu sudah pergi. Tidak sopan, kan?
“Hei, aku belum selesai!” bocah itu
menyamakan langkahnya dengan gadis itu. Gadis kecil itu, diluar dugaan, hanya
diam dan terus berjalan. Seperti tidak terusik dengan suara ngos-ngosan di sebelahnya. “Aku minta
maaf. Apa aku melukaimu?” tanya bocah itu dengan mata membulat. Kini ia
berjalan mundur, tetap menyamakan langkah dengan gadis kecil itu, sambil
berusaha melihat wajah gadis yang asing baginya. “Apakah kita pernah bertemu?
Apakah kamu anak baru? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Namaku Vellen.
Hei, hei!” bocah itu kaget saat gadis itu berlari menjauhinya, bukannya
menjawab ocehan panjang lebarnya yang tidak penting. Vellen tidak mengerti,
apakah dirinya sebersalah itu pada gadis itu, sampai gadis itu tidak
mengucapkan sepatah katapun padanya.
Gadis itu masih tetap diam saat ia duduk
sendiri di halte. Vellen masih membuntutinya sampai halte, diam-diam ia
melangkah menyusul gadis itu tanpa bermaksud mendekatinya. Gadis itu, seperti
tak memiliki minat untuk mengekspresikan apapun, tetap diam tenang dalam
duduknya. Sesekali ia longokkan kepalanya ke arah jalan raya, lalu kembali
menegakkan kepalanya ke posisi awal begitu ia tidak menemukan apapun disana.
Kegiatan itu dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya seorang bocah yang sama,
bersuara tepat di sebelahnya.
“Kubilang aku belum selesai berbicara.
Bisakah aku melanjutkan pembicaraanku tadi?” kepala Vellen menyembul dari balik
kepala gadis itu begitu ia kembali menegakkan kepalanya usai melongok ke arah jalan
raya. Gadis itu terlihat kaget, namun akhirnya mengangguk meski tanpa
berkata-kata.
“Apa aku melukaimu? Aku minta maaf
karena tadi aku dikejar-kejar oleh kakak kelas dan tidak sengaja menabrakmu,”
Vellen bersuara. Gadis itu, diluar dugaan Vellen, tersenyum dan mengangguk.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah
menolongku,” suaranya terdengar sangat imut di telinga Vellen. Gadis itu,
bagaimana bisa menjadi dua kepribadian dalam waktu yang sama? Ini aneh. Pikir
Vellen.
“Kamu... anak baru? Namamu siapa?” tanya
Vellen, kali ini suasana bersahabat mulai dirasakannya, hingga akhirnya dia
tidak sungkan untuk duduk di dekat gadis itu.
“Iya, aku pindahan dari SMP Katterine.
Panggil aja Maudy, ya?” suaranya terdengar ramah. Sangat ramah, malah. Vellen
tersenyum.
“Vellen,” bocah itu mengulurkan tangan
kanannya di depan Maudy. Gadis itu menerimanya dengan satu senyum kecil. Kedua
tangan mereka bergoyang ke atas dan ke bawah. “Senang berkenalan denganmu,”
ujar Vellen. Maudy tersenyum sambil mengangguk.
Vellen diam. Mencoba mendeskripsikan
dalam hati, seorang gadis bertubuh kecil nan mungil untuk seukuran anak SMP,
yang baru saja dikenalnya. Maudy terlihat manis dengan rambut berponi samping
yang terselip satu jepit rambut bewarna calm
peach. Kacamata frame Rayban berwarna violet terselip cantik di atas batang
hidungnya. Matanya sedikit sayu, sehingga ketika ia berkedip, orang akan
menganggapnya sedang memejamkan mata. Pipinya yang chubby beradu dengan bibirnya yang mungil kemerahan, membuatnya
terlihat imut. Ada dua dekik kecil di pipinya ketika tersenyum, bahkan nyaris
tak kentara. Vellen berhasil mendeskripsikan gadis itu dalam satu tatap muka!
“Topimu
jatuh!” suara imut Maudy menyadarkan Vellen. Ia tergagap lalu memungut topi
birunya yang jatuh ke tanah basah. “Kotor ya?”
Vellen
mengangguk sambil berusaha membersihkan sisa-sisa pasir jalanan yang menempel
bersama genangan air hujan. Gadis itu menyodorkan dua lembar tissue dari dalam ranselnya. “Pakai
ini!” Vellen menoleh, lalu menerima pemberian Maudy.
“Terima
kasih,” Vellen baru saja selesai membersihkan topinya saat pandangannya beradu
dengan pandangan Maudy yang sepertinya tidak mengarah padanya. Vellen berusaha
mengikuti arah mata Maudy, hingga akhirnya ia memandang ke arah yang sama.
Pemandangan seorang anak SD yang baru saja dijemput ibunya menyapa mata Vellen.
Anak itu terlihat ceria, tangan kirinya menggenggam telapak tangan ibunya, dan
tangan kanannya menggerak-gerakkan gula kapas yang berada di dalam gelembung
plastik yang cukup besar. Mereka tertawa-tawa sambil terus melangkah
meninggalkan gerbang sekolah. Vellen tertegun, lalu menoleh menatap wajah
Maudy. Gadis itu tersenyum miris, matanya berkaca-kaca. Jika saja Vellen tidak
menepuk pundaknya, mungkin satu bulir air mata akan melesat turun dari mata
sayunya.
“Ada
apa?” Vellen bersuara begitu tangannya sudah terlepas dari pundak Maudy. Maudy
menatap Vellen, tersenyum lalu menggeleng perlahan. “Kamu bisa percaya padaku,”
Vellen tersenyum tulus.
“Akan
ada saatnya aku bercerita. Tidak apa-apa, kan?” Maudy membalas. Hatinya
menghangat begitu ucapan itu terlontar dari mulutnya. Seakan beban dalam
hatinya ikut melarut bersama kata-kata singkat itu.
“Tidak
masalah,” Vellen tersenyum lebar.
“Maudy?”
sebuah suara memanggil nama gadis itu. Maudy dan Vellen menoleh bersamaan ke
asal suara. Maudy tersenyum lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Aku
pulang dulu ya, Vellen! Senang bertemu denganmu, daah!” gadis itu, dengan
senyum 50 watt-nya, mengakhiri perbincangan mereka. Vellen tersenyum sembari
menganggukkan kepalanya, matanya mengawasi Maudy yang kini sudah duduk di
belakang jok sepeda motor bersama seorang laki-laki yang terlihat seperti
ayahnya.
Sejak
saat itu, ransel turquoise itu tidak
pernah terlihat lagi di mata Vellen. Tidak juga dengan senyum dengan dua dekik
kecil yang nyaris tak kentara. Gadis dengan jepit calm peach itu mendadak menghilang. Seperti ditelan waktu, Vellen
bahkan tidak pernah menemukannya. Kata-kata “Senang bertemu denganmu,” menjadi
mantra ajaib bagi Vellen. Ia hanya berharap, entah kapan, ‘akan ada saatnya aku bercerita’ akan menjadi nyata, dan gadis itu
akan benar-benar bercerita padanya. []
0 Response to "Aku Hanya Tahu Namanya []"
Posting Komentar