menu menu menu 'si chubbie' :)

Aku Hanya Tahu Namanya []



                 Hujan baru saja reda. Genangan air hujan yang terdapat di beberapa titik jalanan kecil yang menghubungkan sekolah dengan halte itu terlihat semakin berkurang karena kecipak-kecipak dari langkah kaki murid-murid SD-SMP Cavendish II yang berlarian keluar gerbang sekolah, tak sabar menyambut ayah atau ibu mereka yang sudah menunggu di luar halaman sekolah. Ransel mereka bergoyang ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki mereka yang berubah menjadi lari-lari kecil begitu melihat orang tua mereka berada di depan mata.
            Setidaknya, ada satu gadis kecil yang tidak perlu berlari keluar dengan semangat yang menggebu. Ia berjalan dalam diam, mengamit jaket biru muda tanpa hoodie di lengan tangannya, sembari melihat ke arah teman-teman sebayanya yang berlarian dalam tawa. Beberapa dari mereka saling mengejar untuk sekedar berebut cimol atau snack berhadiah di dalamnya.
            Gadis kecil itu tersenyum memandang mereka, namun tetap tenang dalam langkah kecilnya.
“Wei wei!” seorang bocah laki-laki menabrak pundak gadis kecil itu. Gadis kecil itu hampir terjatuh sebelum tangan bocah itu meraihnya dengan satu gerakan cepat. Wajah gadis itu terlihat pucat, ketakutan. Bocah itu menarik tangan gadis itu, lalu meminta maaf.
“Maaf, aku dikejar oleh me...”
Gadis kecil itu berlalu, tanpa berkata apapun. Bocah laki-laki itu hanya bisa melongo untuk sepersekian detik berikutnya. Hanya memandang ransel turquoise itu bergerak menjauh dari pandangannya. Ia bahkan belum meneruskan kalimat permintaan maafnya, namun gadis itu sudah pergi. Tidak sopan, kan?
“Hei, aku belum selesai!” bocah itu menyamakan langkahnya dengan gadis itu. Gadis kecil itu, diluar dugaan, hanya diam dan terus berjalan. Seperti tidak terusik dengan suara ngos-ngosan di sebelahnya. “Aku minta maaf. Apa aku melukaimu?” tanya bocah itu dengan mata membulat. Kini ia berjalan mundur, tetap menyamakan langkah dengan gadis kecil itu, sambil berusaha melihat wajah gadis yang asing baginya. “Apakah kita pernah bertemu? Apakah kamu anak baru? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Namaku Vellen. Hei, hei!” bocah itu kaget saat gadis itu berlari menjauhinya, bukannya menjawab ocehan panjang lebarnya yang tidak penting. Vellen tidak mengerti, apakah dirinya sebersalah itu pada gadis itu, sampai gadis itu tidak mengucapkan sepatah katapun padanya.
Gadis itu masih tetap diam saat ia duduk sendiri di halte. Vellen masih membuntutinya sampai halte, diam-diam ia melangkah menyusul gadis itu tanpa bermaksud mendekatinya. Gadis itu, seperti tak memiliki minat untuk mengekspresikan apapun, tetap diam tenang dalam duduknya. Sesekali ia longokkan kepalanya ke arah jalan raya, lalu kembali menegakkan kepalanya ke posisi awal begitu ia tidak menemukan apapun disana. Kegiatan itu dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya seorang bocah yang sama, bersuara tepat di sebelahnya.
“Kubilang aku belum selesai berbicara. Bisakah aku melanjutkan pembicaraanku tadi?” kepala Vellen menyembul dari balik kepala gadis itu begitu ia kembali menegakkan kepalanya usai melongok ke arah jalan raya. Gadis itu terlihat kaget, namun akhirnya mengangguk meski tanpa berkata-kata.
“Apa aku melukaimu? Aku minta maaf karena tadi aku dikejar-kejar oleh kakak kelas dan tidak sengaja menabrakmu,” Vellen bersuara. Gadis itu, diluar dugaan Vellen, tersenyum dan mengangguk.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku,” suaranya terdengar sangat imut di telinga Vellen. Gadis itu, bagaimana bisa menjadi dua kepribadian dalam waktu yang sama? Ini aneh. Pikir Vellen.
“Kamu... anak baru? Namamu siapa?” tanya Vellen, kali ini suasana bersahabat mulai dirasakannya, hingga akhirnya dia tidak sungkan untuk duduk di dekat gadis itu.
“Iya, aku pindahan dari SMP Katterine. Panggil aja Maudy, ya?” suaranya terdengar ramah. Sangat ramah, malah. Vellen tersenyum.
“Vellen,” bocah itu mengulurkan tangan kanannya di depan Maudy. Gadis itu menerimanya dengan satu senyum kecil. Kedua tangan mereka bergoyang ke atas dan ke bawah. “Senang berkenalan denganmu,” ujar Vellen. Maudy tersenyum sambil mengangguk.
Vellen diam. Mencoba mendeskripsikan dalam hati, seorang gadis bertubuh kecil nan mungil untuk seukuran anak SMP, yang baru saja dikenalnya. Maudy terlihat manis dengan rambut berponi samping yang terselip satu jepit rambut bewarna calm peach. Kacamata frame Rayban berwarna violet terselip cantik di atas batang hidungnya. Matanya sedikit sayu, sehingga ketika ia berkedip, orang akan menganggapnya sedang memejamkan mata. Pipinya yang chubby beradu dengan bibirnya yang mungil kemerahan, membuatnya terlihat imut. Ada dua dekik kecil di pipinya ketika tersenyum, bahkan nyaris tak kentara. Vellen berhasil mendeskripsikan gadis itu dalam satu tatap muka!
            “Topimu jatuh!” suara imut Maudy menyadarkan Vellen. Ia tergagap lalu memungut topi birunya yang jatuh ke tanah basah. “Kotor ya?”
            Vellen mengangguk sambil berusaha membersihkan sisa-sisa pasir jalanan yang menempel bersama genangan air hujan. Gadis itu menyodorkan dua lembar tissue dari dalam ranselnya. “Pakai ini!” Vellen menoleh, lalu menerima pemberian Maudy.
            “Terima kasih,” Vellen baru saja selesai membersihkan topinya saat pandangannya beradu dengan pandangan Maudy yang sepertinya tidak mengarah padanya. Vellen berusaha mengikuti arah mata Maudy, hingga akhirnya ia memandang ke arah yang sama. Pemandangan seorang anak SD yang baru saja dijemput ibunya menyapa mata Vellen. Anak itu terlihat ceria, tangan kirinya menggenggam telapak tangan ibunya, dan tangan kanannya menggerak-gerakkan gula kapas yang berada di dalam gelembung plastik yang cukup besar. Mereka tertawa-tawa sambil terus melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Vellen tertegun, lalu menoleh menatap wajah Maudy. Gadis itu tersenyum miris, matanya berkaca-kaca. Jika saja Vellen tidak menepuk pundaknya, mungkin satu bulir air mata akan melesat turun dari mata sayunya.
            “Ada apa?” Vellen bersuara begitu tangannya sudah terlepas dari pundak Maudy. Maudy menatap Vellen, tersenyum lalu menggeleng perlahan. “Kamu bisa percaya padaku,” Vellen tersenyum tulus.
            “Akan ada saatnya aku bercerita. Tidak apa-apa, kan?” Maudy membalas. Hatinya menghangat begitu ucapan itu terlontar dari mulutnya. Seakan beban dalam hatinya ikut melarut bersama kata-kata singkat itu.
            “Tidak masalah,” Vellen tersenyum lebar.   
            “Maudy?” sebuah suara memanggil nama gadis itu. Maudy dan Vellen menoleh bersamaan ke asal suara. Maudy tersenyum lalu bangkit dari tempat duduknya.
            “Aku pulang dulu ya, Vellen! Senang bertemu denganmu, daah!” gadis itu, dengan senyum 50 watt-nya, mengakhiri perbincangan mereka. Vellen tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, matanya mengawasi Maudy yang kini sudah duduk di belakang jok sepeda motor bersama seorang laki-laki yang terlihat seperti ayahnya.
            Sejak saat itu, ransel turquoise itu tidak pernah terlihat lagi di mata Vellen. Tidak juga dengan senyum dengan dua dekik kecil yang nyaris tak kentara. Gadis dengan jepit calm peach itu mendadak menghilang. Seperti ditelan waktu, Vellen bahkan tidak pernah menemukannya. Kata-kata “Senang bertemu denganmu,” menjadi mantra ajaib bagi Vellen. Ia hanya berharap, entah kapan, ‘akan ada saatnya aku bercerita’ akan menjadi nyata, dan gadis itu akan benar-benar bercerita padanya. []
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Aku Hanya Tahu Namanya []"

Posting Komentar