menu menu menu 'si chubbie' :)

Cerpen: Le Rêve[1]*

“Ketika kamu terbangun dan mendapati segala hal terasa nyata, itulah mimpi.” 
By: Igant Erisza Maudyna
 
Aku masih menelungkupkan kedua telapak tanganku di depan wajah. Aroma musim dingin begitu lembut menyentuh indera penciumanku. Aku tersenyum, lalu perlahan kubuka kedua telungkup tanganku. Menara Eiffel menjulang tinggi dengan gagahnya, menantang setiap mata yang memandangnya penuh takjub. Aku membuka mataku lebar-lebar, membiarkan setiap mililiter cairan kebahagiaan mengisi rongga-rongga dalam hatiku. Aku hampir membuka mulutku, namun refleks jemari tanganku menutup lubang mulutku yang nyaris menganga.
“Aahh,” aku hampir menahan jeritanku, namun tangan Farel segera meraih dan menggenggamnya erat. Dapat kurasakan aliran darah yang menghangat lewat sentuhan tangan Farel. Aku hampir tak bisa melepas pandanganku pada menara Eiffel yang menjulang gagah di depan pandanganku. Mataku berkaca-kaca.
“Udah nggak ada lagi alasan buat kamu untuk terus bermimpi menjejakkan kakimu tepat di depan menara Eiffel. Kamu berhasil menaklukkannya, Dera,” bisikan lembut Farel menebar kedamaian tersendiri dalam hatiku hingga aku menyadari sepersekian detik selanjutnya adalah kaca-kaca air yang sempat mengendap dalam mataku meluruh menjadi aliran air mata yang hangat. Farel menatapku lembut, mencoba menenangkanku lewat genggaman tangannya yang semakin erat, lewat kata yang tak mampu diucapkan lewat lisannya, lewat aliran darah nadinya yang dapat kurasakan begitu dekat dengan nadiku.
Kamu hanya perlu membuka mata untuk mengetahui bahwa ada banyak alasan bagi seseorang merasa bahagia hanya dengan melihat senyummu... bisik Farel dalam hati sambil tak melepas pandangan matanya ke arahku yang masih sibuk ternganga dengan kemegahan menara Eiffel. Farel tersenyum begitu melihat senyumku.
“Masih nggak percaya? Kamu benar-benar berada di Paris, Dera. Kamu bisa menyentuh besi-besi kekar menara Eiffel, bisa merasakan dinginnya aliran air sungai Seine, bahkan bisa merasakan lembutnya salju yang mungkin nggak akan kamu temukan di Indonesia,” dengan sabar Farel meyakinkanku tentang ketidakpercayaanku pada diriku sendiri. Ia meraih dan mengecup punggung tanganku lembut. “Kamu benar-benar mengalahkan segalanya sekarang. Inilah hadiah dari ketegaran dan ketekunanmu, sayang,” dengan tenang ia membiarkan kepalaku bersandar di bahunya. Lambat-lambat, butiran salju mulai menyentuh pipiku. Bisa kudengar tawa kecil Farel melihat ekspresi kekanakanku begitu kulitku menyentuh salju. Musim dingin di Paris benar-benar dimulai. Butiran-butiran lembut salju putih itu terus berdatangan menghujani kami berdua.
Welcome to Paris, Dera,” bisik Farel lembut dengan senyum mengembang dari bibirnya. Aku tersenyum haru dalam dekapan Farel. Farel mengikuti arah mataku yang takjub memandang kemegahan Eiffel. Meski kami berada cukup jauh dari lokasi menara, tapi aku cukup puas meski hanya bisa melihatnya dari jauh.
Selama itu bersama Farel, aku merasa lebih dari cukup hanya sekedar menjejakkan kedua kakiku di tanah Paris. Selama itu bersama Farel, aku merasa tidak ada lagi mimpi yang tidak bisa kutaklukkan. Tuhan telah menjawab do’aku dengan hadirnya Farel dalam hidupku. Kutatap lekat-lekat sosok wajah yang tengah mendekapku erat, seolah tidak ingin udara musim dingin Paris menggigit kulitku. Aku tersenyum kecil menatap ekspresi wajah Farel begitu sebutir salju mengenai batang hidungnya. Farel menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Ia mencubit pipiku lalu menghindar begitu jemariku siap untuk membalas cubitannya. Farel tertawa lepas. Begitupun aku.
Farel adalah alasan kenapa aku begitu erat menggenggam mimpiku yang sempat kabur bersama Rama. Bersama Farel, aku hanya butuh percaya, bahwa cinta tak hanya membantumu bangkit dari rasa lelah, dari rasa sakit hati dan kecewa. Tapi cinta juga yang akan mengantarmu menembus tembok mimpi yang sudah kamu bangun dengan berbagai kemungkinan—akan roboh sebelum waktunya, atau akan hancur tepat sesuai keinginanmu karena kamu hanya butuh tenaga untuk mendobraknya—karena sekuat apapun tembok mimpi itu, kamu hanya perlu percaya bahwa kamu selalu punya cukup kekuatan untuk menghancurkannya. Itulah mimpi, dia bisa menguatkanmu untuk terus berlari, atau membiarkanmu terjatuh tanpa tujuan.
Beberapa menit selanjutnya aku terdiam. Sembari tersenyum, mataku menerawang mengawasi awan yang bergulung-gulung lembut di langit. Aku memutar kembali sisa ingatanku tentang mimpi-mimpi yang dulu pernah kupinta pada Tuhan, pada kenyataan, pada diriku sendiri. 
Mimpi?
Ada banyak hal yang kuimpikan, bahkan terkadang membuatku berhalusinasi tentang kisah-kisah menyenangkan yang akan kujalani selama aku hidup. Aku memimpikan banyak hal tentang kenyataan yang berbanding terbalik dengan harapan. Ada banyak hal dalam kehidupanku yang aku sendiri tidak tahu apakah aku butuh untuk tetap bermimpi untuk mengubahnya, atau tetap membiarkannya mengalir mengikuti arusnya. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan pada Tuhan. Tentang ketegaran, kesabaran, kebahagiaan, dan keinginan untuk mencintai seseorang tanpa rasa sakit.
“Bapak menginginkan keluarganya berkumpul bersama di rumah ini,” adik laki-lakiku berucap. Aku dan adik perempuanku hanya mendengarkan sambil tersenyum. Senyum yang kami sendiri tidak tahu artinya. Kami bertiga duduk di sofa yang sama, dalam suasana ruang tamu yang senyap, terbalut suasana senja yang nyaris turun dari peraduannya. “Tapi ketika kita sudah berkumpul disini, bapak dan bunda bahkan tidak ada. Mereka selalu sibuk diluar rumah,” lanjutnya. Senyumnya masam. Ada nada getir yang sulit kuungkapkan. Aku memahaminya. Memang sulit menjadi anak dari pasangan orang tua yang bercerai. Ada banyak hal yang membuat kami tetap bertahan. Meski kami tidak tahu pasti, apakah dengan bertahan akan mengubah keadaan.
Sepertinya tidak.
Kami bertiga termenung. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku bahkan tidak habis pikir, adikku yang masih SD mampu berbicara layaknya orang dewasa. Raka tumbuh dengan baik, bahkan lebih baik dariku. Dia lebih tegar, tidak sepertiku. Meski umurnya masih teramat muda, nyatanya dia bisa lebih dewasa daripada aku yang sudah menginjak semester 1 di salah satu politeknik kesehatan di Malang. Aku memang lebih tua lima tahun darinya, tapi aku merasa kecil ketika bersamanya. Raka selalu bisa jadi kakak pada waktu-waktu tertentu.
“Kenapa kita tidak bisa seperti teman-teman kita yang lain, kak? Kenapa kita tidak bisa bersama-sama dengan orang tua kita?” pertanyaan itu menohokku. Aku bisa merasakan debaran jantung yang mulai menghentak-hentakku. Pertanyaan semacam ini yang sampai sekarang aku tidak pernah berhasil menemukan jawabannya.
Kenapa?
Aku juga tidak tahu kenapa. Aku tersenyum samar. Dalam hati aku menjawab, karena kita berbeda. Kita berbeda dengan mereka yang bisa kapan saja berkumpul bersama keluarga mereka. Kita berbeda karena memiliki bapak yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, atau bunda yang tidak begitu memahami perasaan kita karena statusnya sebagai ibu tiri. Kita berbeda, Raka. Pahamilah perbedaan ini. Aku menatapnya lembut. Tak berniat menjawab pertanyaannya. Lagipula Raka juga tidak menuntut jawaban. Sejak detik itu aku mulai punya mimpi. Setidaknya satu mimpi. Aku ingin keluargaku kembali utuh. Bukan dengan bunda, tapi ibu. Ibu yang sebenarnya. Ibu yang kini bahkan jauh dariku dan kedua adikku.
Meskipun itu tidak mungkin, bolehkah aku bermimpi menginginkannya? Sekali saja, Tuhan. Biarkan aku memimpikan hal ini dalam tujuh belas tahun terakhirku hidup di dunia. Meskipun aku tidak berharap banyak akan mimpi mustahil ini, setidaknya dengan aku berani memimpikannya, suatu hari nanti aku bisa merasakannya meski hanya sekejap mata.
Aku tersenyum tipis. Merasakan lelehan sisa luka yang sempat berdarah bertahun-tahun lalu. Jika mengingatnya, rasanya luka itu semakin tergores lebih dalam. Namun pelan-pelan, bersamaan dengan waktu, hal itu sudah membuatku semakin dewasa dalam bersikap. Masa laluku memang sulit, namun aku bisa bertahan dengan baik selama lima tahun terakhir. Farel menatapku begitu cukup lama aku terdiam. Farel tersenyum melepas pelukannya.
“Lagi mikirin apa?” tanya Farel lengkap dengan sinar matanya yang selalu teduh, menatapku dengan matanya yang cokelat. Aku tersenyum menggeleng.
Farel mendesah pelan. Ia pindah posisi, dari yang awalnya mendekapku, kini mengambil tempat tepat di sampingku. Aku mengamati gerak-geriknya sambil tersenyum penasaran. Farel memandang Eiffel, lalu bergumam. “Meski aku tidak bisa membaca pikiranmu. Bisakah kutebak bahwa kamu sedang memikirkan masa lalumu?” selidik Farel tanpa menoleh ke arahku. Mataku terbelalak, terkejut dengan tebakan Farel yang tidak meleset. Farel menoleh ke arahku dan tersenyum jahil. “Iya kan?” tanyanya. Aku tersenyum lalu mengangguk. Farel melingkarkan tangan kanannya di pundakku.
“Hehe. Kamu nggak perlu kaget dan harusnya bahagia punya pacar bak paranormal sepertiku,” bangga Farel. Aku mencubit lengannya, disertai rintihan kecil Farel yang berakhir dengan tawa usil. Aku tertawa, Farel juga.
“Aku benci setiap kali kamu tahu tentang apa yang kupikirkan sebelum aku sempat mengatakannya,” ucapku sambil tersenyum, membalas senyum Farel yang terlukis di bibirnya lengkap dengan sorot mata meneduhkan itu.
“Aku juga benci setiap kali kamu melamun memikirkan hal yang harus aku tebak sebelum kamu mengatakannya,” balas Farel. Kami tertawa bersama. Rasanya begitu nyaman bisa bersama Farel. Farel yang humoris, Farel yang berwajah dingin namun berhati lembut, dan Farel yang begitu penyayang. Entah kapan terakhir kali aku merasakan perasaan yang sama setiap kali bersamanya. Bersama Farel, rasanya aku menemukan pantulan diriku. Keceriaan Farel adalah cerminan diriku di masa lalu. Aku berharap bisa selalu bersamanya.
Jika aku boleh bermimpi lagi, aku ingin Farel selalu menjadi alasan dibalik semua hal yang harus aku hadapi. Tuhan, aku ingin Farelku sekarang adalah Farelku yang akan datang. Farelku yang sekarang, adalah Farel yang akan selalu mengisi hari-hariku sebagai pelengkap seorang Dera yang rapuh. Hanya itu.
“Aku tidak menyuruhmu untuk menebaknya kan?” aku berkilah. Farel tertawa. Melihat tawanya, mengundang kebahagiaan tersendiri dalam diriku. Mengundangku untuk turut tertawa bersamanya.
“Baiklah,” ujar Farel akhirnya. “Aku akan berhenti menebak-nebak, dan kamu harus membicarakan apapun yang kamu pikirkan,” ujar Farel. Aku menatapnya. Farel merenggangkan lingkaran tangan kanannya yang memeluk pundakku.
“Musim dingin sedang tidak bersahabat sekarang, sebelum aku mati kedinginan, ayo pergi menikmati coklat hangat di Parisian cafe[2],” aku mengangkat sebelah alisku. Farel memandangku, seolah bisa membaca pikiranku, dia berucap lagi. “Aku tahu tempat itu dari peta Paris yang kubaca tadi. Ayolah, kamu tidak ingin melihat kekasih tergantengmu ini jadi patung es kan?” kilah Farel. Aku tertawa sembari mengangguk. Farel tersenyum dan meraih tangan kananku lalu menggandengnya. Kami berjalan meninggalkan Eiffel. Salju masih turun dengan begitu lembutnya di permukaan tanah Paris. Setidaknya, salju adalah saksi dari kenyataan yang aku hadapi hari ini. Saksi dari mimpi-mimpiku yang sudah kubangun dengan segenap kekuatan. Dan separuh kekuatan itu ada pada Farel. Itulah mengapa mimpi yang kupinta pada Tuhan adalah mimpi untuk selalu bersama Farel. Karena tanpanya, mungkin aku tidak bisa menjadi Dera yang utuh. Tanpa Farel, Dera tidak mampu setegar ini.
Cup! Farel menempelkan bibirnya tepat di keningku. Aku menoleh menatapnya yang kini tak lagi menatap ke arahku. Namun aku bisa melihat dia tersenyum. Kami masih berjalan beriringan meninggalkan Eiffel, dia juga masih menggandeng tanganku. Aku tersenyum, menyandarkan kepalaku di lengannya, menenggelamkan tanganku dalam genggaman tangannya. Farel menoleh dan menatapku sambil tersenyum dan terus berjalan mengikuti arah aspal bersalju.
“Kenapa kamu selalu melakukan hal yang tak pernah kuduga?” tanyaku tanpa menarik diri dari sandaran kepalaku di lengan Farel.
“Karena bersamamu membuatku selalu ingin melakukan hal-hal diluar perkiraanku,” balasnya ringan. Aku tersenyum sembari mengatupkan kedua mataku sejenak. Setelah aku membuka mata, kulihat burung-burung merpati beterbangan di hadapanku. Aku tertawa kecil dalam posisiku yang tidak berubah. “Dera?” panggilnya.
“Hmm?” sahutku tanpa merubah posisi awalku.
“Kamu tidak perlu memintaku untuk tetap mencintaimu, karena aku akan dengan sendirinya melakukan hal itu untukmu,” suara Farel seperti lirik tanpa nada yang terngiang di telingaku. Aku tersenyum. “Tetaplah menggenggam erat tanganku, tetaplah bersandar di lenganku, tetaplah jadi Dera yang selalu ceria bersamaku. Aku akan menjagamu selama aku bisa melakukannya,” Farel berkata-kata tanpa menoleh padaku. Ia tetap fokus pada jalannya, dan aku tetap bersandar di lengannya.
Merci[3], Farel,” lirihku. Farel mengusap kepalaku dengan sebelah tangannya.
De rien, ma chêrie[4],” balasnya dalam bahasa Perancis.
***
“Masih nungguin kak Taro ya?” sebuah suara datang membuatku melonjak kaget. Di sebelahku seorang cowok sudah duduk manis. Menatapku dengan sinar mata yang masih sama. Redup penuh perhatian. Aku membetulkan posisi dudukku, lalu menunduk, mendongak, menunduk, mendongak lagi, lalu menatap lurus jalanan yang mulai padat lagi.
“Hmm,” balasku. Sepersekian detik berikutnya kami sama-sama terdiam. Cukup lama. Membuatku ingin segera membunuh waktu yang menciptakan jarak diantara kami.
“Kak Taro yang lulusan ITB itu ya? Kakak sepupumu itu kan?” suara Farel memecah keheningan yang tercipta diantara kami. Aku mengangguk. Kami baru saja memesan dua cangkir coklat hangat lengkap dengan cupcake kesukaanku. Aku baru saja bercerita tentang kenangan enam tahun yang lalu, tentang cinta pertamaku, tentang sakit hatiku. Tentang satu dari segala alasan mengapa seorang Dera harus berusaha tegar.
“Sejak saat itu, aku bahkan tidak bertemu dengan Rama lagi,” ada nada sendu dalam suaraku. Tangan Farel meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. Ia mengisyaratkan untuk terus bercerita tentang segala hal yang membebaniku saat ini. Aku meneruskan ceritaku.
“Maaf ya,” hanya kata itu yang diucapkannya. Aku menoleh, menatapnya yang juga menatapku sarat makna. Sorot mata itu masih selalu sama. Air muka itu masih saja tak berubah. Sinar matanya masih redup melemah. Aroma nafas yang masih sama, cara bicara yang masih sama, dan caranya menatapku yang tak pernah berubah. Rama masih sama dengan Ramaku yang dulu. Meski waktu sudah merenggangkan ikatan kami.
“U... untuk apa?” tanyaku. Rama menatapku, semakin lama sinar matanya semakin meredup. Wajahnya pias, menyiratkan kesan luka yang disimpan begitu lama. Aku tak berani menatap wajahnya lagi, tidak ingin melihat sorot mata melemah itu mengawasi tiap detil wajahku. Aku tidak ingin melihatnya murung, seperti sekarang. Tapi aku bisa apa? Aku hanya menelan ludah, mencoba mengalihkan perhatianku pada lalu lalang kendaraan yang mulai melaju kencang dan beberapa yang mulai berhenti karena gerimis sudah turun sejak beberapa menit yang lalu.
“Untuk semuanya. Untuk hubungan kita, untuk perpisahan ini, untuk kenyataan yang terjadi,” susah payah dia paksa mulutnya berbicara. Membicarakan hal yang bahkan tidak ingin kudengar lagi. Ya, luka yang sudah kubebal melawan arus waktu dan kenyataan yang ada, mulai berdarah lagi. Sedikit demi sedikit.
Aku berusaha mati-matian untuk melukis senyum di bibirku. Kutatap dia yang masih pada posisi yang sama, menatapku dengan sinar mata meredup. “Nggak ada yang perlu dimaafin. Dera sudah mencoba mengikhlaskan apa yang seharusnya terjadi diantara kita,” Seulas senyum kuterbitkan lagi di sudut bibirku. Membuatnya juga pelan-pelan mengukir senyum lemah untukku.
“Ada waktu dimana kita harus belajar lebih dewasa menghadapi kenyataan,” kubuat setegar mungkin suara yang kuciptakan ini. Kata-kata yang sama sekali berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang sudah bergemuruh menahan luka yang semakin berdarah. Gerimis mulai menderas. Hujan sudah turun membasahi peraduan begitu aku berusaha menekan segala remuk yang memberontak dalam batin. “Meskipun awalnya Dera nggak bisa menghadapinya,” suaraku melemah. Kutatap lekat wajah Rama yang berjarak tak lebih dari sepuluh senti dari wajahku. “Tapi pelan-pelan pasti bisa,” lanjutku sambil tersenyum.  
“Dera,” ada getar dalam nada suaranya. Membuatku segera memalingkan wajahku, memercikkan bulir air mata yang tadi masih terbendung di sudut mata. Aku tidak sanggup melihat wajah Rama dalam keadaan yang juga membuatku sulit menahan air mata. “Hey,” Rama meraih tanganku dan menggenggamnya.   
“Rama jangan sedih ya. Dera nggak papa kok. Tuh kan, Dera nggak papa,” ujarku sambil tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-gigiku yang rata. Rama masih lekat menatapku. Dia selalu tahu kebenaran dibalik kebohongan kecil yang kubuat.
“Rama tahu Dera nggak bisa, tapi Dera selalu berusaha tegar untuk membuat Rama juga kuat menghadapinya. Ya, kan?” tanyanya, mencari wajahku yang kusembunyikan dalam tundukan. Rama masih tidak ingin melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Dia malah menggenggamnya lebih erat. Seerat mungkin. Aku mendongakkan wajahku, menoleh dan menatap Rama dalam diam. Rama juga menatapku dalam diam. Masih menunggu jawaban. Seketika aku sadar, selama ini aku berusaha membohongi diriku untuk bisa cepat melepaskan rantai cinta Rama yang membelenggu, padahal kenyataannya aku tidak pernah bisa melupakan dan membencinya. Aku bahkan tidak bisa lagi berpura-pura melupakan Rama begitu rasa nyaman akan genggaman tangan itu semakin menjalar memenuhi tiang-tiang hatiku.
Aku masih mencintai Rama. Atau bukan.
Aku selalu mencintainya.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Rama, suara klakson sepeda motor menyentak kami. Kak Taro sudah duduk di jok Vixionnya dengan mengenakan jas hujan. Matanya sesekali tertutup untuk menghindari air hujan yang turun deras. Aku segera bangkit, sontak melepaskan genggaman tangan Rama. Rama sepertinya juga salah tingkah.      “Aku pulang dulu ya,” pamitku sambil menundukkan kepalaku pendek. Rama tersenyum dan mengangguk. “Hati-hati ya,” pesannya. Rama menatap kepergianku. Meninggalkan senyum samar sebelum akhirnya ia juga bersiap meninggalkan halte. Kupeluk erat pinggang kak Taro. Kusandarkan kepalaku di punggung nyaman milik kak Taro, lalu membiarkan hatiku menangis. Juga mataku. Kutumpahkan air yang sedari tadi terbendung di kantung mata. Cinta memang selalu jadi alasan yang membuatku bertahan. Tapi ketika benteng pertahanan itu runtuh, hanya tangis yang menjadi sisanya.
“Hey,” tangan kanan kak Taro bergerak menyentuh tanganku yang melingkar di pinggang kak Taro. Aku masih menangis, membiarkan suara tangisanku dikalahkan oleh suara hujan yang masih ganas menghantam permukaan jas hujan kak Taro. Aku terpejam. Merasakan tetes air mata terakhir meleleh melewati pelupuk mataku. Air mata terakhir sebelum aku benar-benar kehilangan Rama.
Sebulir air mata meleleh melewati pipi mungilku. Aku baru tersadar begitu dengan lembut jemari Farel mengusap air mata di pipiku pelan-pelan. Ia tersenyum begitu pandangan mata kami bertemu. Farel meraih kepalaku dan menyandarkannya di bahunya. Membiarkanku terisak dalam pelukannya. Aku memeluk pinggang Farel. Berusaha menekan segala luka yang mulai menganga kembali setelah enam tahun aku bersusah payah melupakannya.
“Menangislah selagi aku masih ada di sampingmu,” ujar Farel. Ia menyandarkan pipinya di kepalaku. Aku masih terisak hebat begitu dengan lembut Farel menepuk-nepuk lenganku. Satu hal yang selalu dilakukannya ketika aku menangis. “Selama kamu masih mempunyai aku, kamu akan baik-baik saja,” hiburnya. Aku mulai tenang.
“Aku bahkan masih menjadi cewek cengeng di hadapanmu,” ujarku sebal. Bisa kudengar Farel tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambutku lalu menyandarkan pipinya lagi disana.  “Justru aku selalu merindukan gadisku yang selalu cengeng ketika bersamaku. Karena dengan itu aku tahu, bahwa kamu benar-benar percaya padaku sebagai pendengar keluh kesahmu,” balas Farel. Aku tersenyum dengan mata terpejam. Detik itu aku merasa aku tidak ingin kehilangan Farel seperti aku kehilangan Rama. Tidak lagi.
***
“Dera?!” suara itu menghentakku. Mataku terbuka. Wajah Lissa sudah berada tepat di depanku. Ia menatapku heran, lalu mengusap pipiku yang basah. Aku tertegun mengamati gerak-gerik Lissa. Sejenak kami saling terdiam. “Daritadi aku memperhatikanmu tertidur,” sambung Lissa. “Dan selama itu pula kamu menangis,” ujarnya sambil menatapku penuh iba. Ia membimbingku untuk bangkit dari ranjang. “Apa yang kamu mimpikan sampai membuatmu menangis seperti itu?” tanya Lissa beruntun. Aku sendiri masih setengah sadar. Satu-satunya hal terakhir yang aku ingat adalah aku menangis dalam pelukan seseorang bernama Farel.
“Aku bermimpi ada di Paris bersama seseorang,” gumamku. Mata Lissa membulat. Dia beranjak dari ranjangku dan mulai merogoh tas selempangnya. Aku memperhatikannya yang terlihat sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya. Posisinya yang membelakangiku membuatku sulit memastikan apa yang sedang dilakukannya.
“Ah, aku bahkan lupa untuk menyampaikan hal penting ini untukmu,” Lissa tersenyum cerah. Aku masih kebingungan. Lissa menyodorkan sebuah amplop putih ke arahku. Aku menatapnya bimbang, lalu menerima amplop itu.
Beasiswa Andalan? Aku membaca label depannya. Aku menatap Lissa, memastikan penglihatanku tidak salah. Lissa tersenyum mengangguk. “Aku bahkan tidak percaya sahabatku mendapat kesempatan untuk bersekolah di Paris,” suara Lissa membuat hatiku bergetar. Aku membuka amplop itu dan membaca isi kertas di dalamnya. “Selamat ya Dera! Kamu memang pantas mendapatkannya,” ujar Lissa membuatku segera menghambur ke pelukannya. Aku menangis haru begitu Lissa menepuk-nepuk punggungku lembut.
Aku akan pergi ke Paris! Jeritku dalam hati. Bisa kubayangkan menara Eiffel menjulang gagah di hadapanku. Namun tiba-tiba aku terhentak. Paris? Aku mengerutkan kening. Bukankah aku memang sudah berada di sana? Aku melepas pelukanku pada Lissa. Lissa menatap ekspresiku yang berubah. “Ada apa?” tanyanya.
“Sudah berapa lama aku tertidur?” tanyaku. Lissa terkekeh lalu membalas pertanyaanku. “Hampir dua belas jam kamu tertidur. Aku cemas melihat tidurmu yang seperti itu. Aku kira kamu sudah mati, tahu!” sejenak aku terdiam. Ternyata aku mimpi? Mimpi sudah berada di Paris. Mimpi merasakan kenyamanan saat bersama seseorang bernama Farel. Apakah ini artinya mimpiku terwujud hanya dalam mimpi?
SELESAI
[1] Adalah bahasa Perancis yang artinya Mimpi.
[2] Parisian cafe adalah kawasan Paris yang dipenuhi cafe yang menonjolkan suasana alam.
[3] Terima kasih.
[4] Sama-sama, kekasihku.

*Cerpen ini adalah cerpen yang sempat diikutkan lomba Kompetisi Menulis yang diadakan oleh @cerita_penulis tapi belum beruntung untuk masuk 5 besar. Hehe :))
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Gimme One Minute - Nyanyikan Untukku Lagu Selamat Ulang Tahun


            My heart beats a little bit slower
These nights are a little bit colder
Now that you're gone
My skies seem a little bit darker
Sweet dreams come a little bit harder...
I hate when you're gone.
(Greyson Chance-Home is in your Eyes)

Maudy memandangi handphone yang tergeletak di sampingnya. Memandangnya, beralih memeluk guling, memejamkan mata, lalu kembali memandang handphone-nya yang tak juga berkutik. Hampir saja ia menumpahkan air mata jika saja dia tak mengingat pesan teman-temannya hari ini.
Tambah tua setahun, nggak boleh cengeng lagi ya!
Maudy menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar merindukan seseorang dibalik sana. Sangat merindukannya. Ia hanya ingin mendengarnya menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ untuknya. Setidaknya satu menit, setidaknya ia bisa mendengar suaranya sebentar saja.
Tik. Tok. Tik. Tok.
Hanya detak jam yang terdengar, di sela suara renyah Greyson Chance yang mengalun merdu lewat earsetnya. Maudy hanya diam. Diam menunggu. Diam menanyakan dalam hati apakah seseorang yang ditunggunya benar-benar akan menyanyikan lagu itu untuknya. Diam menunggu. Mungkin hingga ia tertidur nanti, telepon masuk di handphonenya tidak akan ada.
Maudy menunggu. Matanya mengatup, lagu lewat earsetnya masih terlantun memenuhi ruang-ruang telinganya. Gadis itu tertidur bersama penantian, tanpa tahu apakah keesokan harinya ia mendapatkan apa yang dinantikannya. 

            Everyday time is passing
Growing tired of all this travelling
Take me away to where you are.
*
Mentari baru muncul begitu Ramon menggeliat dari balik selimutnya. Rasa pusing masih membekas di kepalanya. Ia ingat kemarin jadwalnya sangat padat. Tes wawancara untuk mendaftar di Badan Eksekutif Mahasiswa menyita waktunya. Ia bahkan lupa makan, dan ia baru ingat seharian kemarin dia hanya makan sebungkus roti. Pagi ini perutnya keroncongan hebat. Ia segera bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju dapur, barangkali neneknya sudah menyiapkan sarapan untuknya.
“Baru bangun Ram?” Tanya seorang wanita paruh baya dari balik ruang dapur. Ramon baru saja melahap satu sisir roti yang diambilnya di meja makan.
“Iya nek. Tadi habis sholat subuh langsung tidur lagi. Capek nek,” balasnya. Ramon mengamati kesibukan neneknya menggoreng telur.
“Oh iya handphone kamu ketinggalan di ruang tamu kemarin. Nenek taruh di atas meja TV,” ujar nenek. Ramon mengendikkan bahu lalu melangkah menuju meja TV.
Kak, adeg pengen dinyanyiin lagu selamat ulang tahun.
Yah? Satu meniiiiiiiit aja. Sebentar aja kak :((
Pesan itu nampak begitu Ramon membuka handphonenya. Dia baru ingat ada sesuatu yang harus diselesaikan kemarin, namun ia terlalu lelah untuk membuka mata. Sepulang dari kampus ia langsung tergeletak di kamarnya. Padahal ia sempat akan menelpon gadis yang kemarin berulang tahun itu. Ramon menyesal. Dicarinya kontak gadis itu di handphonenya, lalu ditekannya tombol ‘call’.
Maaf, nomor yang anda hubungi sedang sibuk. Coba beberapa saat lagi.
Ramon mengulangi panggilannya.
Maaf, nomor yang anda hubungi tidak dapat menerima panggilan ini…
Ramon memutuskan sambungan telepon, lalu mencobanya sekali lagi.
“Angkat, Dy. Please,” gumam Ramon pelan.
“Ramooon, sarapannya sudah siap!” teriak neneknya. Ramon menoleh sebentar lalu mengangguk.
“Iya neek!” balasnya. Operator masih menyambungkan panggilannya, masih ada nada ‘tuuut-tuuut-tuuuut’. Ramon menunggu.
“H… halo,” Ramon berucap begitu seseorang di seberang sana menerima panggilan teleponnya. “Maaf ya dek. Kemarin kakak tertidur. Maaf ya telat,” Ramon terengah. Ia menyesal.
“Happy birthday to you, happy birthday to you…” Ramon menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk seseorang di seberang sana. “Happy birthday, happy birthday, happy birthday Maudy,” Ramon mengakhiri lagunya. “Selamat ulang tahun ya Maudy,”
Tidak ada jawaban. Telepon masih tersambung, tapi tidak ada suara apapun setelah Ramon menyelesaikan lagunya. Ramon mengernyitkan dahinya.
“Dek? Masih disana kan?” Tanya Ramon. Sepersekian detik setelahnya hanya terdengar isak tangis yang redup. Ramon makin tidak mengerti.
“Dek, kenapa?” Tanya Ramon.
“Maudy…” seseorang dibalik sana menggumamkan sebuah nama. “Ini Ramon?” Tanyanya.
“Iya. Ini siapa? Dimana Maudy?”
“Tadi malam dia menunggu teleponmu sampai dia tertidur,” Deg! Jantung Ramon nyaris berhenti berdetak. Dia merasa sesak nafas. Ternyata Maudy benar-benar menginginkannya menyanyikan lagu ulang tahun untuknya. Gadis itu benar-benar menunggunya, tapi ia malah tertidur tanpa bisa menyempatkan waktu sebentar untuk gadis itu. Perasaan bersalah merambati hatinya. Maudy, maafkan aku.
“Tapi aku nggak menyangka, dia tertidur sangat pulas. Hingga sekarang…” kata-katanya terputus. “Hingga sekarang dia tidak bangun lagi. Ramooon, Maudy meninggal,”
Seolah semua hal disekelilingnya berubah 180 derajat. Ramon menjatuhkan ponselnya. Mulutnya menganga. Hatinya remuk. Ia ingin memastikan sekali lagi bahwa apa yang didengarnya adalah salah. Tidak mungkin, tidak mungkin secepat ini! Ia baru saja menyanyikan lagu untuk gadis itu, tapi sekarang? Ramon merasa seluruh tubuhnya lumpuh. Ia merasa semua energinya terkuras habis.
Tuhan, terlalu cepat Kau mengambil gadisku.
Ramon menangis. Cowok itu menguras seluruh air mata yang terbendung dibalik kelopak matanya. Kenyataan itu cukup membuatnya tersayat. Ramon menyesali semuanya. Iya, semuanya! Semua hal yang Maudy lakukan dan ia hanya mampu mengabaikannya. Semua pesan yang Maudy ucapkan dan Ramon tak cukup baik untuk menggubrisnya. Maudy masih sangat mencintainya, meski mereka sudah putus setahun yang lalu. Maudy adalah gadis paling tulus yang pernah Ramon kenal. Gadis itu sangat mencintainya namun Ramon terlalu angkuh untuk meresponnya. Ramon hanya ingin Maudy bertahan tanpanya, namun ia tahu kini dia melakukan hal yang sia-sia.
Maudy, maafkan aku…
            *
Ramon berdiri tepat di depan tanah pemakaman yang masih basah. Ia tahu tahun depan ia tidak akan bisa menyanyikan lagu selamat ulang tahun lagi untuk gadis itu. Ia tahu ia telah melakukan hal bodoh yang akan terus disesali sepanjang hidupnya.
Andai jika saat itu aku mengabaikan egoku dan menuruti kemauanmu, apakah aku bisa melepas kepergianmu lebih ikhlas dari ini? Aku menyesal, Maudy. Aku menyesal tidak bisa memenuhi keinginanmu di saat-saat terakhir kepergianmu. Maafkan aku, Maudy. Aku masih mecintaimu. Masih sangat mencintaimu.
Seorang gadis mendekati Ramon, berdiri tepat disamping cowok itu. Ramon menoleh, mendapati gadis itu menyodorkan secarik kertas padanya.
“Aku menemukan ini di bawah handphone Maudy,” ujarnya. Ramon membuka lipatan kertas itu dan menemukan sebaris kata yang dia kenal model tulisan tangannya. Seketika hati Ramon meremuk begitu membacanya.
Aku menunggumu kak, akan menunggu meski harus membuatku menunggu sampai aku tidak beranjak lagi dari lelapku. Aku hanya ingin mendengar suaramu, kak. Aku merindukanmu.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

My 'cloudy' 18th Birthday :(

Siapa saya? Ini tanggal berapa? Dimana saya? Hari apa ini? *LOL*
Anyway, ini tanggal 4 Februari ya? Ah ya, kayaknya ada yang ulang tahun ya?
Berkurang setahun usiaku, berkurang kesempatan hidupku, tapi nggak ada kesan sama sekali :(
Ini ulang tahun paling kelabu :(
Banyak yang ngelupain momen ini. Momen dimana aku berharap orang-orang ngucapin seenggaknya satu kata buatku, justru mereka melupakannya. Kemana sih mereka? Sibuk? Sesibuk itukah sampai melupakan aku? *nangisdarah*
Aku nggak pengen apa-apa kok, cuma pengen diucapin 'Happy Birthday Igant'. Udah, itu aja.
But thanks buat temen-temenku yang udah ngucapin di akun Facebook Igant Erisza Maudyna-ku, yang udah ngucapin di akun twitter @igantmaudyna, so much thanks for my roommates @Zatizhrf buat foto unyunya :3

@mbaawend@WatieEka, and @NadyaMajiid buat doa-doanya. God bless you all guys :3
thanks juga buat @naimen27 buat ucapan di personal message BBMnya :))
special thanks juga buat arek-arek asrama anggrek yang sempet ngucapin, hehehe :3
for @vindipratama thanks buanget mau tak repotin buat lagunya :)) thanks yaaaa. 
thanks for all buat yang udah ngucapin di akun BBM-ku, Whatsapp, SMS, ngucapin langsung plus cium pipiku *for @putrichunnitz and @cindyprasisca* Thankyou so much :3
Aku berharap satu orang yang aku tunggu hari ini ngucapin ulang tahun buatku :(
Pengen banget diucapin lewat telpon, paling enggak. Satu meniiiiiit aja. Sebentaaaaaar aja. Aku kangen kamu :(
For you: @biburr_MAN. I'm waiting :''

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS