“Ketika kamu terbangun dan
mendapati segala hal terasa nyata, itulah mimpi.”
By: Igant Erisza Maudyna
Aku masih menelungkupkan kedua
telapak tanganku di depan wajah. Aroma musim dingin begitu lembut menyentuh
indera penciumanku. Aku tersenyum, lalu perlahan kubuka kedua telungkup
tanganku. Menara Eiffel menjulang tinggi dengan gagahnya, menantang setiap mata
yang memandangnya penuh takjub. Aku membuka mataku lebar-lebar, membiarkan
setiap mililiter cairan kebahagiaan mengisi rongga-rongga dalam hatiku. Aku
hampir membuka mulutku, namun refleks jemari tanganku menutup lubang mulutku
yang nyaris menganga.
“Aahh,” aku hampir menahan
jeritanku, namun tangan Farel segera meraih dan menggenggamnya erat. Dapat
kurasakan aliran darah yang menghangat lewat sentuhan tangan Farel. Aku hampir
tak bisa melepas pandanganku pada menara Eiffel yang menjulang gagah di depan
pandanganku. Mataku berkaca-kaca.
“Udah nggak ada lagi alasan buat
kamu untuk terus bermimpi menjejakkan kakimu tepat di depan menara Eiffel. Kamu
berhasil menaklukkannya, Dera,” bisikan lembut Farel menebar kedamaian
tersendiri dalam hatiku hingga aku menyadari sepersekian detik selanjutnya
adalah kaca-kaca air yang sempat mengendap dalam mataku meluruh menjadi aliran
air mata yang hangat. Farel menatapku lembut, mencoba menenangkanku lewat
genggaman tangannya yang semakin erat, lewat kata yang tak mampu diucapkan
lewat lisannya, lewat aliran darah nadinya yang dapat kurasakan begitu dekat
dengan nadiku.
Kamu hanya perlu membuka
mata untuk mengetahui bahwa ada banyak alasan bagi seseorang merasa bahagia
hanya dengan melihat senyummu... bisik Farel dalam hati sambil tak melepas
pandangan matanya ke arahku yang masih sibuk ternganga dengan kemegahan menara
Eiffel. Farel tersenyum begitu melihat senyumku.
“Masih nggak percaya? Kamu
benar-benar berada di Paris, Dera. Kamu bisa menyentuh besi-besi kekar menara
Eiffel, bisa merasakan dinginnya aliran air sungai Seine, bahkan bisa merasakan
lembutnya salju yang mungkin nggak akan kamu temukan di Indonesia,” dengan
sabar Farel meyakinkanku tentang ketidakpercayaanku pada diriku sendiri. Ia
meraih dan mengecup punggung tanganku lembut. “Kamu benar-benar mengalahkan
segalanya sekarang. Inilah hadiah dari ketegaran dan ketekunanmu, sayang,”
dengan tenang ia membiarkan kepalaku bersandar di bahunya. Lambat-lambat,
butiran salju mulai menyentuh pipiku. Bisa kudengar tawa kecil Farel melihat
ekspresi kekanakanku begitu kulitku menyentuh salju. Musim dingin di Paris
benar-benar dimulai. Butiran-butiran lembut salju putih itu terus berdatangan
menghujani kami berdua.
“Welcome to Paris,
Dera,” bisik Farel lembut dengan senyum mengembang dari bibirnya. Aku tersenyum
haru dalam dekapan Farel. Farel mengikuti arah mataku yang takjub memandang
kemegahan Eiffel. Meski kami berada cukup jauh dari lokasi menara, tapi aku
cukup puas meski hanya bisa melihatnya dari jauh.
Selama itu bersama Farel, aku
merasa lebih dari cukup hanya sekedar menjejakkan kedua kakiku di tanah Paris.
Selama itu bersama Farel, aku merasa tidak ada lagi mimpi yang tidak bisa
kutaklukkan. Tuhan telah menjawab do’aku dengan hadirnya Farel dalam hidupku.
Kutatap lekat-lekat sosok wajah yang tengah mendekapku erat, seolah tidak ingin
udara musim dingin Paris menggigit kulitku. Aku tersenyum kecil menatap
ekspresi wajah Farel begitu sebutir salju mengenai batang hidungnya. Farel
menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Ia mencubit pipiku lalu menghindar
begitu jemariku siap untuk membalas cubitannya. Farel tertawa lepas. Begitupun
aku.
Farel adalah alasan kenapa aku
begitu erat menggenggam mimpiku yang sempat kabur bersama Rama. Bersama Farel,
aku hanya butuh percaya, bahwa cinta tak hanya membantumu bangkit dari rasa
lelah, dari rasa sakit hati dan kecewa. Tapi cinta juga yang akan mengantarmu
menembus tembok mimpi yang sudah kamu bangun dengan berbagai kemungkinan—akan
roboh sebelum waktunya, atau akan hancur tepat sesuai keinginanmu karena kamu
hanya butuh tenaga untuk mendobraknya—karena sekuat apapun tembok mimpi itu,
kamu hanya perlu percaya bahwa kamu selalu punya cukup kekuatan untuk
menghancurkannya. Itulah mimpi, dia bisa menguatkanmu untuk terus berlari, atau
membiarkanmu terjatuh tanpa tujuan.
Beberapa menit selanjutnya aku
terdiam. Sembari tersenyum, mataku menerawang mengawasi awan yang
bergulung-gulung lembut di langit. Aku memutar kembali sisa ingatanku tentang
mimpi-mimpi yang dulu pernah kupinta pada Tuhan, pada kenyataan, pada diriku
sendiri.
Mimpi?
Ada banyak hal yang kuimpikan,
bahkan terkadang membuatku berhalusinasi tentang kisah-kisah menyenangkan yang
akan kujalani selama aku hidup. Aku memimpikan banyak hal tentang kenyataan
yang berbanding terbalik dengan harapan. Ada banyak hal dalam kehidupanku yang
aku sendiri tidak tahu apakah aku butuh untuk tetap bermimpi untuk mengubahnya,
atau tetap membiarkannya mengalir mengikuti arusnya. Ada banyak hal yang ingin
kusampaikan pada Tuhan. Tentang ketegaran, kesabaran, kebahagiaan, dan
keinginan untuk mencintai seseorang tanpa rasa sakit.
“Bapak menginginkan
keluarganya berkumpul bersama di rumah ini,” adik laki-lakiku berucap. Aku dan
adik perempuanku hanya mendengarkan sambil tersenyum. Senyum yang kami sendiri
tidak tahu artinya. Kami bertiga duduk di sofa yang sama, dalam suasana ruang
tamu yang senyap, terbalut suasana senja yang nyaris turun dari peraduannya.
“Tapi ketika kita sudah berkumpul disini, bapak dan bunda bahkan tidak ada.
Mereka selalu sibuk diluar rumah,” lanjutnya. Senyumnya masam. Ada nada getir
yang sulit kuungkapkan. Aku memahaminya. Memang sulit menjadi anak dari
pasangan orang tua yang bercerai. Ada banyak hal yang membuat kami tetap
bertahan. Meski kami tidak tahu pasti, apakah dengan bertahan akan mengubah
keadaan.
Sepertinya tidak.
Kami bertiga termenung.
Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku bahkan tidak habis pikir, adikku yang
masih SD mampu berbicara layaknya orang dewasa. Raka tumbuh dengan baik, bahkan
lebih baik dariku. Dia lebih tegar, tidak sepertiku. Meski umurnya masih
teramat muda, nyatanya dia bisa lebih dewasa daripada aku yang sudah menginjak
semester 1 di salah satu politeknik kesehatan di Malang. Aku memang lebih tua
lima tahun darinya, tapi aku merasa kecil ketika bersamanya. Raka selalu bisa
jadi kakak pada waktu-waktu tertentu.
“Kenapa kita tidak bisa
seperti teman-teman kita yang lain, kak? Kenapa kita tidak bisa bersama-sama
dengan orang tua kita?” pertanyaan itu menohokku. Aku bisa merasakan debaran
jantung yang mulai menghentak-hentakku. Pertanyaan semacam ini yang sampai
sekarang aku tidak pernah berhasil menemukan jawabannya.
Kenapa?
Aku juga tidak tahu kenapa.
Aku tersenyum samar. Dalam hati aku menjawab, karena kita berbeda. Kita berbeda
dengan mereka yang bisa kapan saja berkumpul bersama keluarga mereka. Kita
berbeda karena memiliki bapak yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, atau bunda
yang tidak begitu memahami perasaan kita karena statusnya sebagai ibu tiri.
Kita berbeda, Raka. Pahamilah perbedaan ini. Aku menatapnya lembut. Tak berniat
menjawab pertanyaannya. Lagipula Raka juga tidak menuntut jawaban. Sejak detik
itu aku mulai punya mimpi. Setidaknya satu mimpi. Aku ingin keluargaku kembali
utuh. Bukan dengan bunda, tapi ibu. Ibu yang sebenarnya. Ibu yang kini bahkan
jauh dariku dan kedua adikku.
Meskipun itu tidak mungkin,
bolehkah aku bermimpi menginginkannya? Sekali saja, Tuhan. Biarkan aku
memimpikan hal ini dalam tujuh belas tahun terakhirku hidup di dunia. Meskipun
aku tidak berharap banyak akan mimpi mustahil ini, setidaknya dengan aku berani
memimpikannya, suatu hari nanti aku bisa merasakannya meski hanya sekejap mata.
Aku tersenyum tipis. Merasakan
lelehan sisa luka yang sempat berdarah bertahun-tahun lalu. Jika mengingatnya,
rasanya luka itu semakin tergores lebih dalam. Namun pelan-pelan, bersamaan
dengan waktu, hal itu sudah membuatku semakin dewasa dalam bersikap. Masa
laluku memang sulit, namun aku bisa bertahan dengan baik selama lima tahun
terakhir. Farel menatapku begitu cukup lama aku terdiam. Farel tersenyum
melepas pelukannya.
“Lagi mikirin apa?” tanya Farel
lengkap dengan sinar matanya yang selalu teduh, menatapku dengan matanya yang
cokelat. Aku tersenyum menggeleng.
Farel mendesah pelan. Ia pindah
posisi, dari yang awalnya mendekapku, kini mengambil tempat tepat di sampingku.
Aku mengamati gerak-geriknya sambil tersenyum penasaran. Farel memandang
Eiffel, lalu bergumam. “Meski aku tidak bisa membaca pikiranmu. Bisakah kutebak
bahwa kamu sedang memikirkan masa lalumu?” selidik Farel tanpa menoleh ke
arahku. Mataku terbelalak, terkejut dengan tebakan Farel yang tidak meleset.
Farel menoleh ke arahku dan tersenyum jahil. “Iya kan?” tanyanya. Aku tersenyum
lalu mengangguk. Farel melingkarkan tangan kanannya di pundakku.
“Hehe. Kamu nggak perlu kaget
dan harusnya bahagia punya pacar bak paranormal sepertiku,” bangga Farel. Aku
mencubit lengannya, disertai rintihan kecil Farel yang berakhir dengan tawa
usil. Aku tertawa, Farel juga.
“Aku benci setiap kali kamu tahu
tentang apa yang kupikirkan sebelum aku sempat mengatakannya,” ucapku sambil
tersenyum, membalas senyum Farel yang terlukis di bibirnya lengkap dengan sorot
mata meneduhkan itu.
“Aku juga benci setiap kali kamu
melamun memikirkan hal yang harus aku tebak sebelum kamu mengatakannya,” balas
Farel. Kami tertawa bersama. Rasanya begitu nyaman bisa bersama Farel. Farel
yang humoris, Farel yang berwajah dingin namun berhati lembut, dan Farel yang
begitu penyayang. Entah kapan terakhir kali aku merasakan perasaan yang sama
setiap kali bersamanya. Bersama Farel, rasanya aku menemukan pantulan diriku.
Keceriaan Farel adalah cerminan diriku di masa lalu. Aku berharap bisa selalu
bersamanya.
Jika aku boleh bermimpi lagi,
aku ingin Farel selalu menjadi alasan dibalik semua hal yang harus aku hadapi.
Tuhan, aku ingin Farelku sekarang adalah Farelku yang akan datang. Farelku yang
sekarang, adalah Farel yang akan selalu mengisi hari-hariku sebagai pelengkap
seorang Dera yang rapuh. Hanya itu.
“Aku tidak menyuruhmu untuk
menebaknya kan?” aku berkilah. Farel tertawa. Melihat tawanya, mengundang
kebahagiaan tersendiri dalam diriku. Mengundangku untuk turut tertawa
bersamanya.
“Baiklah,” ujar Farel akhirnya.
“Aku akan berhenti menebak-nebak, dan kamu harus membicarakan apapun yang kamu
pikirkan,” ujar Farel. Aku menatapnya. Farel merenggangkan lingkaran tangan
kanannya yang memeluk pundakku.
“Musim dingin sedang tidak
bersahabat sekarang, sebelum aku mati kedinginan, ayo pergi menikmati coklat
hangat di Parisian cafe[2],” aku mengangkat sebelah alisku. Farel memandangku,
seolah bisa membaca pikiranku, dia berucap lagi. “Aku tahu tempat itu dari peta
Paris yang kubaca tadi. Ayolah, kamu tidak ingin melihat kekasih tergantengmu
ini jadi patung es kan?” kilah Farel. Aku tertawa sembari mengangguk. Farel
tersenyum dan meraih tangan kananku lalu menggandengnya. Kami berjalan
meninggalkan Eiffel. Salju masih turun dengan begitu lembutnya di permukaan
tanah Paris. Setidaknya, salju adalah saksi dari kenyataan yang aku hadapi hari
ini. Saksi dari mimpi-mimpiku yang sudah kubangun dengan segenap kekuatan. Dan
separuh kekuatan itu ada pada Farel. Itulah mengapa mimpi yang kupinta pada
Tuhan adalah mimpi untuk selalu bersama Farel. Karena tanpanya, mungkin aku
tidak bisa menjadi Dera yang utuh. Tanpa Farel, Dera tidak mampu setegar ini.
Cup! Farel menempelkan
bibirnya tepat di keningku. Aku menoleh menatapnya yang kini tak lagi menatap
ke arahku. Namun aku bisa melihat dia tersenyum. Kami masih berjalan beriringan
meninggalkan Eiffel, dia juga masih menggandeng tanganku. Aku tersenyum,
menyandarkan kepalaku di lengannya, menenggelamkan tanganku dalam genggaman
tangannya. Farel menoleh dan menatapku sambil tersenyum dan terus berjalan
mengikuti arah aspal bersalju.
“Kenapa kamu selalu melakukan
hal yang tak pernah kuduga?” tanyaku tanpa menarik diri dari sandaran kepalaku
di lengan Farel.
“Karena bersamamu membuatku
selalu ingin melakukan hal-hal diluar perkiraanku,” balasnya ringan. Aku
tersenyum sembari mengatupkan kedua mataku sejenak. Setelah aku membuka mata,
kulihat burung-burung merpati beterbangan di hadapanku. Aku tertawa kecil dalam
posisiku yang tidak berubah. “Dera?” panggilnya.
“Hmm?” sahutku tanpa merubah
posisi awalku.
“Kamu tidak perlu memintaku
untuk tetap mencintaimu, karena aku akan dengan sendirinya melakukan hal itu
untukmu,” suara Farel seperti lirik tanpa nada yang terngiang di telingaku. Aku
tersenyum. “Tetaplah menggenggam erat tanganku, tetaplah bersandar di lenganku,
tetaplah jadi Dera yang selalu ceria bersamaku. Aku akan menjagamu selama aku
bisa melakukannya,” Farel berkata-kata tanpa menoleh padaku. Ia tetap fokus
pada jalannya, dan aku tetap bersandar di lengannya.
“Merci[3], Farel,”
lirihku. Farel mengusap kepalaku dengan sebelah tangannya.
“De rien, ma chêrie[4],”
balasnya dalam bahasa Perancis.
***
“Masih nungguin kak Taro
ya?” sebuah suara datang membuatku melonjak kaget. Di sebelahku seorang cowok
sudah duduk manis. Menatapku dengan sinar mata yang masih sama. Redup penuh
perhatian. Aku membetulkan posisi dudukku, lalu menunduk, mendongak, menunduk,
mendongak lagi, lalu menatap lurus jalanan yang mulai padat lagi.
“Hmm,” balasku. Sepersekian
detik berikutnya kami sama-sama terdiam. Cukup lama. Membuatku ingin segera membunuh
waktu yang menciptakan jarak diantara kami.
“Kak Taro yang lulusan ITB itu
ya? Kakak sepupumu itu kan?” suara Farel memecah keheningan yang tercipta
diantara kami. Aku mengangguk. Kami baru saja memesan dua cangkir coklat hangat
lengkap dengan cupcake kesukaanku. Aku baru saja bercerita tentang
kenangan enam tahun yang lalu, tentang cinta pertamaku, tentang sakit hatiku.
Tentang satu dari segala alasan mengapa seorang Dera harus berusaha tegar.
“Sejak saat itu, aku bahkan
tidak bertemu dengan Rama lagi,” ada nada sendu dalam suaraku. Tangan Farel
meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. Ia mengisyaratkan untuk terus
bercerita tentang segala hal yang membebaniku saat ini. Aku meneruskan
ceritaku.
“Maaf ya,” hanya kata itu
yang diucapkannya. Aku menoleh, menatapnya yang juga menatapku sarat makna.
Sorot mata itu masih selalu sama. Air muka itu masih saja tak berubah. Sinar
matanya masih redup melemah. Aroma nafas yang masih sama, cara bicara yang
masih sama, dan caranya menatapku yang tak pernah berubah. Rama masih sama
dengan Ramaku yang dulu. Meski waktu sudah merenggangkan ikatan kami.
“U... untuk apa?” tanyaku.
Rama menatapku, semakin lama sinar matanya semakin meredup. Wajahnya pias,
menyiratkan kesan luka yang disimpan begitu lama. Aku tak berani menatap
wajahnya lagi, tidak ingin melihat sorot mata melemah itu mengawasi tiap detil
wajahku. Aku tidak ingin melihatnya murung, seperti sekarang. Tapi aku bisa
apa? Aku hanya menelan ludah, mencoba mengalihkan perhatianku pada lalu lalang
kendaraan yang mulai melaju kencang dan beberapa yang mulai berhenti karena
gerimis sudah turun sejak beberapa menit yang lalu.
“Untuk semuanya. Untuk
hubungan kita, untuk perpisahan ini, untuk kenyataan yang terjadi,” susah payah
dia paksa mulutnya berbicara. Membicarakan hal yang bahkan tidak ingin kudengar
lagi. Ya, luka yang sudah kubebal melawan arus waktu dan kenyataan yang ada,
mulai berdarah lagi. Sedikit demi sedikit.
Aku berusaha mati-matian
untuk melukis senyum di bibirku. Kutatap dia yang masih pada posisi yang sama,
menatapku dengan sinar mata meredup. “Nggak ada yang perlu dimaafin. Dera sudah
mencoba mengikhlaskan apa yang seharusnya terjadi diantara kita,” Seulas senyum
kuterbitkan lagi di sudut bibirku. Membuatnya juga pelan-pelan mengukir senyum
lemah untukku.
“Ada waktu dimana kita harus
belajar lebih dewasa menghadapi kenyataan,” kubuat setegar mungkin suara yang
kuciptakan ini. Kata-kata yang sama sekali berbanding terbalik dengan suasana hatiku
yang sudah bergemuruh menahan luka yang semakin berdarah. Gerimis mulai
menderas. Hujan sudah turun membasahi peraduan begitu aku berusaha menekan
segala remuk yang memberontak dalam batin. “Meskipun awalnya Dera nggak bisa
menghadapinya,” suaraku melemah. Kutatap lekat wajah Rama yang berjarak tak
lebih dari sepuluh senti dari wajahku. “Tapi pelan-pelan pasti bisa,” lanjutku
sambil tersenyum.
“Dera,” ada getar dalam nada
suaranya. Membuatku segera memalingkan wajahku, memercikkan bulir air mata yang
tadi masih terbendung di sudut mata. Aku tidak sanggup melihat wajah Rama dalam
keadaan yang juga membuatku sulit menahan air mata. “Hey,” Rama meraih tanganku
dan menggenggamnya.
“Rama jangan sedih ya. Dera
nggak papa kok. Tuh kan, Dera nggak papa,” ujarku sambil tersenyum lebar,
memamerkan deretan gigi-gigiku yang rata. Rama masih lekat menatapku. Dia
selalu tahu kebenaran dibalik kebohongan kecil yang kubuat.
“Rama tahu Dera nggak bisa,
tapi Dera selalu berusaha tegar untuk membuat Rama juga kuat menghadapinya. Ya,
kan?” tanyanya, mencari wajahku yang kusembunyikan dalam tundukan. Rama masih
tidak ingin melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Dia malah
menggenggamnya lebih erat. Seerat mungkin. Aku mendongakkan wajahku, menoleh
dan menatap Rama dalam diam. Rama juga menatapku dalam diam. Masih menunggu
jawaban. Seketika aku sadar, selama ini aku berusaha membohongi diriku untuk
bisa cepat melepaskan rantai cinta Rama yang membelenggu, padahal kenyataannya
aku tidak pernah bisa melupakan dan membencinya. Aku bahkan tidak bisa lagi
berpura-pura melupakan Rama begitu rasa nyaman akan genggaman tangan itu
semakin menjalar memenuhi tiang-tiang hatiku.
Aku masih mencintai Rama.
Atau bukan.
Aku selalu mencintainya.
Belum sempat aku menjawab
pertanyaan Rama, suara klakson sepeda motor menyentak kami. Kak Taro sudah
duduk di jok Vixionnya dengan mengenakan jas hujan. Matanya sesekali tertutup
untuk menghindari air hujan yang turun deras. Aku segera bangkit, sontak
melepaskan genggaman tangan Rama. Rama sepertinya juga salah
tingkah. “Aku pulang dulu ya,” pamitku sambil
menundukkan kepalaku pendek. Rama tersenyum dan mengangguk. “Hati-hati ya,”
pesannya. Rama menatap kepergianku. Meninggalkan senyum samar sebelum akhirnya
ia juga bersiap meninggalkan halte. Kupeluk erat pinggang kak Taro. Kusandarkan
kepalaku di punggung nyaman milik kak Taro, lalu membiarkan hatiku menangis.
Juga mataku. Kutumpahkan air yang sedari tadi terbendung di kantung mata. Cinta
memang selalu jadi alasan yang membuatku bertahan. Tapi ketika benteng
pertahanan itu runtuh, hanya tangis yang menjadi sisanya.
“Hey,” tangan kanan kak Taro
bergerak menyentuh tanganku yang melingkar di pinggang kak Taro. Aku masih
menangis, membiarkan suara tangisanku dikalahkan oleh suara hujan yang masih
ganas menghantam permukaan jas hujan kak Taro. Aku terpejam. Merasakan tetes
air mata terakhir meleleh melewati pelupuk mataku. Air mata terakhir sebelum
aku benar-benar kehilangan Rama.
Sebulir air mata meleleh
melewati pipi mungilku. Aku baru tersadar begitu dengan lembut jemari Farel
mengusap air mata di pipiku pelan-pelan. Ia tersenyum begitu pandangan mata
kami bertemu. Farel meraih kepalaku dan menyandarkannya di bahunya. Membiarkanku
terisak dalam pelukannya. Aku memeluk pinggang Farel. Berusaha menekan segala
luka yang mulai menganga kembali setelah enam tahun aku bersusah payah
melupakannya.
“Menangislah selagi aku masih
ada di sampingmu,” ujar Farel. Ia menyandarkan pipinya di kepalaku. Aku masih
terisak hebat begitu dengan lembut Farel menepuk-nepuk lenganku. Satu hal yang
selalu dilakukannya ketika aku menangis. “Selama kamu masih mempunyai aku, kamu
akan baik-baik saja,” hiburnya. Aku mulai tenang.
“Aku bahkan masih menjadi cewek
cengeng di hadapanmu,” ujarku sebal. Bisa kudengar Farel tertawa kecil. Ia
mengacak-acak rambutku lalu menyandarkan pipinya lagi disana. “Justru aku
selalu merindukan gadisku yang selalu cengeng ketika bersamaku. Karena dengan
itu aku tahu, bahwa kamu benar-benar percaya padaku sebagai pendengar keluh
kesahmu,” balas Farel. Aku tersenyum dengan mata terpejam. Detik itu aku merasa
aku tidak ingin kehilangan Farel seperti aku kehilangan Rama. Tidak lagi.
***
“Dera?!” suara itu menghentakku.
Mataku terbuka. Wajah Lissa sudah berada tepat di depanku. Ia menatapku heran,
lalu mengusap pipiku yang basah. Aku tertegun mengamati gerak-gerik Lissa.
Sejenak kami saling terdiam. “Daritadi aku memperhatikanmu tertidur,” sambung
Lissa. “Dan selama itu pula kamu menangis,” ujarnya sambil menatapku penuh iba.
Ia membimbingku untuk bangkit dari ranjang. “Apa yang kamu mimpikan sampai
membuatmu menangis seperti itu?” tanya Lissa beruntun. Aku sendiri masih
setengah sadar. Satu-satunya hal terakhir yang aku ingat adalah aku menangis
dalam pelukan seseorang bernama Farel.
“Aku bermimpi ada di Paris
bersama seseorang,” gumamku. Mata Lissa membulat. Dia beranjak dari ranjangku
dan mulai merogoh tas selempangnya. Aku memperhatikannya yang terlihat sedang
mencari sesuatu dari dalam tasnya. Posisinya yang membelakangiku membuatku
sulit memastikan apa yang sedang dilakukannya.
“Ah, aku bahkan lupa untuk
menyampaikan hal penting ini untukmu,” Lissa tersenyum cerah. Aku masih
kebingungan. Lissa menyodorkan sebuah amplop putih ke arahku. Aku menatapnya
bimbang, lalu menerima amplop itu.
Beasiswa Andalan? Aku
membaca label depannya. Aku menatap Lissa, memastikan penglihatanku tidak
salah. Lissa tersenyum mengangguk. “Aku bahkan tidak percaya sahabatku mendapat
kesempatan untuk bersekolah di Paris,” suara Lissa membuat hatiku bergetar. Aku
membuka amplop itu dan membaca isi kertas di dalamnya. “Selamat ya Dera! Kamu
memang pantas mendapatkannya,” ujar Lissa membuatku segera menghambur ke
pelukannya. Aku menangis haru begitu Lissa menepuk-nepuk punggungku lembut.
Aku akan pergi ke Paris!
Jeritku dalam hati. Bisa kubayangkan menara Eiffel menjulang gagah di
hadapanku. Namun tiba-tiba aku terhentak. Paris? Aku mengerutkan
kening. Bukankah aku memang sudah berada di sana? Aku melepas
pelukanku pada Lissa. Lissa menatap ekspresiku yang berubah. “Ada apa?”
tanyanya.
“Sudah berapa lama aku
tertidur?” tanyaku. Lissa terkekeh lalu membalas pertanyaanku. “Hampir dua
belas jam kamu tertidur. Aku cemas melihat tidurmu yang seperti itu. Aku kira
kamu sudah mati, tahu!” sejenak aku terdiam. Ternyata aku mimpi? Mimpi sudah
berada di Paris. Mimpi merasakan kenyamanan saat bersama seseorang bernama Farel.
Apakah ini artinya mimpiku terwujud hanya dalam mimpi?
SELESAI
[1] Adalah bahasa Perancis yang
artinya Mimpi.
[2] Parisian cafe adalah kawasan
Paris yang dipenuhi cafe yang menonjolkan suasana alam.
[3] Terima kasih.
[4] Sama-sama, kekasihku.
*Cerpen ini adalah cerpen yang sempat diikutkan lomba Kompetisi Menulis yang diadakan oleh @cerita_penulis tapi belum beruntung untuk masuk 5 besar. Hehe :))
Read Users' Comments (0)