menu menu menu 'si chubbie' :)

Cerpen; Biar Senja Melepas Lembayungnya


Dalam senja aku berucap, “Atas dasar apa aku merindukanmu?”
***
            Langit masih berwarna biru pucat. Serabut-serabut tipis menggumpal menjadi awan, memberi sedikit corak warna abu-abu di sisi-sisinya. Lembayung menggaris sempurna di langit senja. Aku terpekur dalam diam. Menggumam sebuah nama samar-samar. Nadiku masih berdenyut pelan, seirama dengan dentum jantung yang kian melemah. Ruangan kelas sudah sepi, menyisakan hening dengan jarum jam yang berdetak teratur.
            Dentum langkah kaki terdengar mendekat ke arah kelasku. Semakin lama semakin dekat. Aku menghela nafas pelan. Tepat di depan pintu kelasku, dentum langkah kaki itu berhenti. Bayangan seorang terlihat di sana. Ekor mataku bergerak menatapnya, perih itu mengguyur hati lagi.
            “Anggar,”
            Sebuah suara terdengar pelan memanggilku. Aku masih menunduk diam, masih terpekur dalam hening. Sebelum akhirnya keheningan itu terpecah dengan gelegar luka yang menggemeretakkan hatiku.
              “Anggar, bisa kita bicara sebentar?”
            Aku menoleh. Melihatnya, membuat petir luka yang sempat redam menjadi semakin jelas. Mengapa aku menjadi sangat terluka melihatmu? Ingat kan, betapa bahagianya dulu ketika aku bisa sekedar melihatmu dari kejauhan? Batinku terisak.
            Aku bangkit dengan berat hati dari bangkuku. Kulangkahkan pelan-pelan kakiku menghampirinya. Ada sakit yang menanti disana. Ya, sakit karena sisa luka yang ada, atau sakit atas kenyataan yang akan terjadi nanti. Aku menyeka air mataku, entah berapa lama aku menangis. Yang pasti sebelum dia datang, dan sebelum hatiku dibekukan oleh luka lama.
            “Mau bicara apa?” suaraku gemetar. Kulihat ada sinar mata redup disana, tepat di matanya yang berbola mata hitam kecoklatan yang membulat.
            “Bisa kita duduk dulu?” tanyanya. Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah lebih dulu melangkah mendekati sebuah kursi reyot panjang di depan koridor kelasku. Aku mengekor di belakangnya, menundukkan kepala, menyembunyikan sisa tangis yang menggantung sempurna di kantung mata.
            Diam merangkap kami. Aku masih betah dengan mulut terbungkam dan jerit tertahan. Ya, aku ingin menjerit. Menjerit sekerasnya hingga langit runtuh, meruntuhkan diriku yang telah penuh luka. Luka. Luka. Luka. Kata itu yang terus terpatri dalam otakku. Aku terluka, dan siapa yang bisa melihatnya?
            “Anggar nggak papa kan?” suara itu terdengar kaku. Diselingi deheman kecil yang membeku. Aku mengangguk lemah, lalu kembali terdiam.
            “Zildan minta maaf ya,” ujarnya tercekat. Mendengar permintaan maafnya, mengingatkanku lagi atas sebuah pesan singkat subuh tadi. Sebuah rangkaian kalimat yang sekejap mampu meluluh lantakkan hatiku.
            Zildan :*
          10/11/2012
          04.00 AM
                Biar langit tetap berbintang, kelamnya masih jelas tergambar. Biar mentari mengerling jalang, pagi akan tetap menggantung cerah. Biar senja melepas lembayungnya, sore akan beranjak datang dan mencela malam.
          Anggar, untuk gadis yang kusayang. Dalam diam atau tidak, aku mencintaimu atas ketulusan. Hingga bintang malam ini tiada berkedip, aku meletakkanmu di langit hatiku, untuk jadi bintang yang paling terang.
          Tapi maaf, akankah bintang akan terus bersinar? Anggar, atas segala kekhilafanku, bisakah kita berakhir sampai disini?
          Senja ini aku ingin bertemu dengan Anggar. Sempatkan waktu ya...

“Apa maksud Zildan? Apa maksud dari kata-kata Zildan tadi pagi?” suaraku lirih, namun mampu membungkam mulutnya, menghentaknya dari rasa bersalah. Sekali lagi kami terperangkap dalam diam.
“Zildan... Zildan mau mengakhirinya. Zildan mau kita pisah, dan kembali menjadi teman,” ujarnya setelah beberapa lama lisannya terkatup. Luka menggores hatiku lagi. Sudah bisa kupastikan tangis itu akan terjun lagi, tak hanya membiarkannya mengendap di kantung mataku lagi.
“Tapi... kenapa?” mataku tak sanggup lagi membendung air mata. Ia meluruh perlahan, membawa luka baru yang menghanyut seiring mengalirnya air mata.
“Anggar, Zildan nggak mau lagi terus-terusan menyakiti hatinya Anggar dengan sikap Zildan selama ini. Zildan merasa berdosa. Jadi, kenapa nggak lebih baik Zildan pergi dan membiarkan Anggar bahagia?” ujarnya. Suaranya terdengar berat.
Aku membelalakkan mataku. Membuat air mataku terpercik kaget.
“Apa Zildan pikir, dengan Zildan pergi, bisa membuat Anggar lebih baik? Itu kan yang Zildan bilang? Zildan nggak ngerti apa-apa tentang perasaannya Anggar, dan Zildan nggak tahu apa-apa tentang apa yang membuat Anggar merasa lebih baik!” air mataku tergenang seirama ombak amarahku. Aku bangkit meninggalkan Zildan dan berlari kecil menuju kelas untuk mengambil tasku.
“Kalau Zildan mau kita berakhir, Anggar turuti!” kalimat terakhir yang bisa kuucapkan sebelum akhirnya aku beranjak pergi meninggalkannya sendiri dengan kursi panjang reyot yang berderit. Dalam kebisuan, Zildan menatap punggungku yang telah menjauh.
“Bukan itu maksud Zildan,” ujarnya lirih. Lalu dalam hitungan detik, ia meraih ranselnya, menyelempangkannya sejajar dengan bahunya, menggendongnya dibalik punggung. Andai senja tak secepat ini datangnya, mungkin Zildan bisa menjelaskan lebih lama lagi. Aku ingin mengakhiri untuk melukis senyum di sudut bibirmu, Nggar. Bukan melepasmu dengan sakit hati dan luka lagi... bisik Zildan dalam hati. Membiarkan dirinya berjalan dan terhanyut dalam suasana senja dengan mendung yang bergelayut sendu.
***
            Dalam linangan embun pagi aku berbisik, “Mungkinkah melepasmu adalah hal yang lebih baik?”
           
            Ini pagi keenam puluh sembilan sejak aku dan Zildan berpisah. Aku merasa letih untuk berusaha melupakannya, bahkan sekedar melupakan namanya. Teman-temanku berusaha dengan susah payah membuatku bangkit, tapi egoku semakin kuat memaksaku untuk mengingat.
            Ketika bersama merajut cinta
            Tertawa bahagia kita berdua
            Kuingin kembali bertegur sapa
            Kasih jangan biarkan
            Kini... hatiku hampa...
            Sunyi sepi tanpa cinta
            Reff dari lagu yang disenandungkan oleh Afgan, mengalir syahdu lewat earset yang menggantung di kedua lubang telingaku. Luka yang berdarah itu merembes lagi, menyisakan perih yang semakin menjadi. Zildan, mengapa begitu berat otakku kupaksa untuk melupakanmu? Dan, mengapa begitu cepat tanganmu melepasku?
            “Anggar,” sebuah suara menghentak lamunanku. Aku terperangah, lalu mendongak untuk melihat siapa yang telah membuyarkan lamunanku.
            “Tari, apaan sih, kaget tau!” kesalku sambil melepas earset yang menggantung di antara kedua lubang telingaku. Tari terkikik, lalu duduk di sebelahku. Teman satu bangkuku satu ini memang kadang hobi mengagetkanku.
            “Nanti anterin aku ke stasiun ya,” ujarnya sambil memainkan mp3 player yang kuletakkan di atas meja.
            “Nanti? Emangnya siapa yang mau dateng?” tanyaku sambil membuka lembar-lembar buku pelajaran yang tebalnya tak sanggup kuungkapkan lagi.
            “Adik sepupuku dari Tangerang. Hehe, anterin ya, please,” ujarnya memohon. Aku menatapnya, menyunggingkan senyum jahil.
            “Asal habis dari stasiun kamu nraktir susu soda, aku mau. Hahaha,” ujarku sambil menyenggol lengannya. Dia manyun.
            “Yaelaaaah, cuma itu? Gampang deh, asal gak lebih dari dua gelas gede aja. Gak papa lah, palingan cuma habis sepuluh ribu, haha,” ujarnya. Lalu kami berdua terlarut dalam canda. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan untuk pelan-pelan menemukan diriku yang dulu lagi. Jujur saja aku lelah jika terus mengingat kenanganku bersama Zildan. Cowok itu seakan menjadi momok menakutkan bagiku.
Biar senja melepas lembayungnya, biar malam mengundang bintangnya. Biarkan aku melupakanmu, hingga nanti senja mempertemukanku dengan orang lain yang mampu membantuku bangkit dari ketepurukanku karenamu.
***
Dalam keramaian, senja memaksaku berucap dalam hati, ”Apakah luka itu  abadi?”

Keramaian stasiun senja ini membuatku pusing. Berdesak-desakan dengan orang lain daridulu membuatku mual. Dan itulah mengapa sekarang tanganku sudah ditarik paksa oleh Tari untuk melangkah bersamanya menuju ke dalam stasiun untuk sekedar menghempaskan pantat di atas kursi tunggu.
“Tariiiii, apa kita nggak bisa tunggu diluar aja sih?” sungutku. Rambutku yang terurai panjang menari-nari tersapu angin. Tari cuek, sembari terus melangkahkan kakinya yang gesit.
“Nanti sepupuku nggak tahu kalau aku udah jemput. Udaaah, gak usah bawel, habis ini nyampek kok. Heran deh,” balas Tari. Aku mulai terbatuk-batuk begitu keramaian semakin merayap. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mengusir pusing dan menekan mual yang sedari tadi menyergapku.
“Huffft, kamu kan tahu aku phobia keramaian, apalagi desak-desakan, bikin mual tahu,” keluhku. Tari tersenyum gusar.
“Iya, maaf deh. Hehehe. Eh, kamu tungguin disini ya, aku mau jemput sepupuku,” ujar Tari. Lalu, tanpa meminta persetujuanku, dia sudah lebih dulu ngeloyor pergi. Aku mendengus kesal. Lalu kukeluarkan mp3 player mini berwarna biru cerah, kugantungkan earset di kedua lubang telingaku lalu kupencet tombol ‘on’. Tak lama, lagu-lagu yang sudah terdaftar di list mp3-ku mengalun merdu. Kepalaku bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Sembari menikmati lagu, kulepas pandanganku di berbagai sudut stasiun ini. Ada yang berjalan cepat, duduk-duduk di tempat yang tak jauh dariku, atau teriakan anak-anak kecil menyambut sanak saudaranya yang datang. Aku tersenyum. Kesibukan dalam keramaian ini begitu klasik.
Aku merasakan kursiku terasa berat. Aku mengernyit heran. Ekor mataku bergerak, melirik siapa yang ada di sebelahku. Sekilas aku bisa melihat seseorang duduk di kursi yang sama denganku, meski dengan jarak yang tak dekat. Sejenak aku menerka-nerka, siapa yang ada disana. Ekor mataku berhenti melirik, namun bisa kurasakan aura berbeda saat aku menyadari bahwa aku seperti pernah melihat sosok itu. Ia tetap diam dalam kesibukannya yang sama denganku, mendengarkan lagu dari mp3.
Tik tok tik tok. Detak jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku seolah ikut menunggu. Entah, kenapa rasanya berdiam disini begitu lama. Tari mana sih? Lama banget, keluhku dalam hati. Sosok itu mendekat ke arahku. Jantungku berdegup tak karuan. Bukan, bukan karena aku deg-degan karena dia menghampiriku, namun aku takut dia akan bertindak yang macam-macam padaku. Aku menggeser posisi dudukku, berusaha membuat sosok itu jengah dan berhenti mendekat. Namun percuma, dia tetap mendekatiku. Aku menutup kedua kelopak mataku.
“Mbak,” suara itu terdengar begitu dekat di telingaku. Aku membelalakkan mataku. Suara itu?
Aku merasakan ada luka yang tergores disana. Luka itu, luka yang sama sejak aku berusaha melupakannya. Ada sayatan yang berdarah dalam hati, ketika suara itu mendenging di telingaku. Suara yang sejak enam puluh sembilan hari yang lalu tak ingin kudengar. Suara yang mampu mengundang gelegak luka dalam batinku. Namun semakin aku mengatupkan kedua kelopak mataku, suara itu berdenging terus menerus.
“Mbak,” lagi. Suara itu terdengar seperti undangan luka yang membuat air mataku meluruh. Mendengar suaranya seperti mendengar petir yang menyayat hati.
Aku mendongakkan kepalaku. Mengusap air mata yang sempat mengalir lembut melewati pipiku. Dengan sisa kekuatan yang mati-matian kukumpulkan, aku menoleh pelan. Dalam keheningan tatapan mata yang saling beradu itu, aku berusaha menekan segala perasaan yang meronta.
Wajahnya, alisnya, bola mata bulat hitam kecoklatan, gaya bicara, nada suara, ekspresi dan tingkah lakunya mengingatkanku akan satu nama yang harus kulupakan. Namun senja ini membuatku menerka, apa ini yang Tuhan kirimkan kepadaku. Kepada sosok yang berada di hadapanku, aku merintih. Mengandai-andai agar apa yang aku lihat saat ini bukanlah orang yang sudah seharusnya aku lupakan hadirnya. Namun dia, dia seperti sosok nyaris sama dengan kenanganku.
“Anggar, Zildan nggak mau lagi terus-terusan menyakiti hatinya Anggar dengan sikap Zildan selama ini. Zildan merasa berdosa. Jadi, kenapa nggak lebih baik Zildan pergi dan membiarkan Anggar bahagia?” ujarnya. Suaranya terdengar berat.
Sekelibet slide masa lalu membuatku terperangah. Luka yang telah mampu kukubur dengan tenang, kini menguak jasadnya lagi.
“K... kamu,” ujarku terbata. Sosok di hadapanku itu menatapku lekat. Tanpa kedip, dengan sinar mata kebingungan.
“Eh, kamu udah disini ternyata! Dicari kemana-mana juga!” sebuah suara mengagetkan kami. Di depanku sudah berdiri sosok sahabatku yang kelelahan. Nafasnya tersengal, beradu dengan peluh yang merembes di keningnya yang lebar tertutup poni samping. Aku tak berkedip memandangnya, bergantian dengan sosok yang sudah duduk di sebelahku.
“I... ini,” ujarku terbata. Sosok itu masih menatapku.
“Eh, kenalin Nggar, ini Seno, adik sepupuku dari Tangerang,” ucapan Tari seperti halilintar yang meluluh lantakkan tameng hatiku. Aku menatapnya, menatap cerminan kenangan yang begitu sama.
Aku seperti melihat pantulan wajah Zildan.

SELESAI
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS