Cinta itu pasti. Yang
membuatnya tak pasti adalah harapan yang bergantung terlalu dalam~
Lampu trotoar yang berdiri
setinggi dua meter diatasku masih menyala. Menyisakan bias warna orens yang
cukup samar untuk menerangi setiap detil benda yang berada di sekitarnya. Hujan
sudah reda sekitar dua menit yang lalu, bersamaan dengan suara petasan yang
memekakkan, disusul taburan cahaya mejikuhibiniu yang menyebar di langit Sabtu
malam yang mendung. Angin bekas hujan sore dengan sensasi dingin yang menaikkan
bulu kuduk tak menghentikan lalu lalang kota Malang begitu saja. Ada banyak
tujuan, ada banyak alasan yang menjadikan kota Malang tak pernah sepi dari
pusat perhatian.
Salah satunya aku.
Yang berdiri diantara ribuan orang,
yang nekat menembus dinginnya udara malam kota Malang, dengan satu tujuan yang
samar. Aku tak pernah tahu tujuanku berada disini, di setapak jalan yang
menghubungkan jalan raya dengan alun-alun kota Malang. Aku hanya mengikuti
kemana kaki bergerak, kemana hati mengawal langkahku.
Karena tujuan yang aku harapkan
tidak akan ada disini.
1 Oktober. Membuatku mengingat
banyak hal, tentang banyak cerita dan ukiran kebersamaan yang terbingkai dalam
kaca kenangan tujuh tahun yang lalu. Aku tahu, kaca itu telah retak dalam waktu
yang lama, tanpa kutahu apakah aku bisa memperbaikinya lagi. Aku yang
membiarkannya retak terlalu lama, hingga mungkin kini telah pecah menjadi
kepingan kenangan yang akan terbuang. Terlupakan.
Aku meneguk isi minuman kaleng
terakhir yang berada di genggaman tanganku. Rasanya aku sudah berjalan terlalu
jauh, karena begitu aku tersadar, aku sudah berada di pintu masuk alun-alun
kota Malang. Aku melempar kaleng minumanku di tong sampah yang berada tak jauh
dari pintu masuk, lalu celingukan. Apa yang membuatku berada di tempat ini? Tak
bisa menemukan jawaban yang pasti, otakku membimbingku untuk terus melangkah.
Aku duduk di salah satu kursi
panjang alun-alun kota Malang, sembari menatap kembang api yang meletup cantik
di langit mendung Sabtu malam. Biasanya akan ada yang mengajakku tertawa begitu
kembang api mulai meluncur dan meledak di tengah langit. Dia akan mengajakku
berhitung kapan percikan kembang api itu menghilang saat petasan sudah
diledakkan. Aku menoleh ke samping kursi yang kududuki, tersenyum membayangkan
dia berada di kursi yang sama denganku saat ini.
Membayangkannya saja membuat rindu
ini semakin meledak hebat, seperti letupan kembang api yang tak pernah
menyisakan percik apinya terlalu lama. Seperti rindu, yang tak pernah
menyisakan harapan untuk dipertemukan. Aku merindukannya dengan cara yang
sederhana.
“Berani bertaruh? Apinya akan hilang
dalam waktu empat detik dari sekarang,” sebuah suara mengudara tepat di
belakangku.
“Ya, ya. Aku percaya padamu. Duduk
disini sebentar, akan kubelikan yang sudah kujanjikan tadi,” suara yang lain
menimpali.
“Oke, jangan lama-lama ya! Nanti aku
diculik, haha!”
Suara kedua sudah menghilang.
Mungkin pergi seperti yang dikatakan sebelumnya. Suara pertama sekarang juga
ikut diam. Aku menoleh ke belakang. Kami duduk berseberangan, jadi aku tidak
bisa melihat dengan jelas wajah seorang gadis yang kini asyik dengan gadgetnya.
Dua detik kemudian aroma permen coklat merasuk cepat lewat kedua lubang
hidungku. Aku mengenali parfum ini. Hatiku mulai berdegup tak karuan. Iramanya
tak lagi teratur. Aroma permen coklat itu semakin membuatku terusik.
Aku mencoba memastikan bahwa indera
penciumanku salah. Aku menoleh lagi ke kursi belakangku, bersamaan dengan
wajahnya yang juga menoleh ke arahku dengan tatapan kaget. Degup jantungku
makin tak teratur, rasanya ingin mencelat keluar.
“Kamu?!”
Suara terakhir yang kudengar saat
aku belum pulih dalam kekagetanku adalah pekik terkejut yang membuatku gugup dan kaku dalam satu
waktu. “Alan?!”
Aku rindu kamu!
0 Response to "Dear Ex, I Miss You!"
Posting Komentar