Kita bagaikan dua buah planet, Venus
dan Mars
Yang mengelilingi satu pusatnya,
yaitu Matahari
Seperti kita, yang tak hentinya
mengelilingi satu pusat yang menyatukan kita
CINTA
Meski terpisahkan, namun kita
sebenarnya selalu dekat
Selalu dekat, hingga kita tidak
menyadari
Hati kita lebih dekat dari letak
kita sekarang
Percayalah
Kita selalu dekat , dan akan selalu
begitu
Hingga akhir waktu
Mars
Dear Venus,
Aku masih
berharap banyak agar kamu mau mengucapkan satu, satu saja, kata sayang untukku.
Aku tetap
meragukan kesungguhanmu. Aku masih belum yakin.
“Hei Venus,” sapaku ketika kami bertemu di kantin. Venus menatapku, sebelum
kerumunan teman-temannya menatap dengan tatapan tak enak.
“Hmm,” Venus hanya membalas dengan deheman.
“Hai Mars,” sapa salah satu dari mereka, sembari tersenyum genit.
Aku menatap Venus untuk yang kesekian kali. Sebelum akhirnya aku menyeret
tangan Fira untuk menjauh dari hadapannya.
“Gue suka cewek galak kayak Mars,” sahut salah satu dari kerumunan cowok-cowok
itu setelah kepergianku dari kantin.
Venus memukul meja.
“Awas kalo lo macem-macem sama cewek gue,”
“Cewek lo? Orang lo aja gak pernah nganggep dia. Sampai kapan cewek betah
digituin Ven? Lo juga kudu sadar,”
“Lo gak usah ikut campur urusan gue,” ujar Venus sambil menarik kerah seragam
salah satu temannya yang baru saja berujar. Namanya Davin.
“Gue ngomong gitu karena gue perhatian sama lo. Gue pengen yang terbaik buat
kalian. Kalo sampe kakek-nenek sikap lo kayak gitu, Mars akan menjauh dari lo. Remember
boy, kalian udah pacaran setahun lebih,” ujar Davin.
Venus trenyuh. Dia sadar, perbuatannya salah.
**
Aku berjalan menunduk. Menenteng
buku-buku yang tebalnya sudah tak sanggup kuungkapkan lagi. Satu kata. Berat
sekali. Tapi, ya, ini memang sudah keseharianku. Diiringi rintik hujan yang
sedikit demi sedikit menetes di baju seragamku.
“Kamu mau pulang?”
Suara itu mengagetkanku. Refleks beberapa buku terjatuh di antara sela-sela
sepatuku. Aku segera memungutnya.
“Ya. Kamu duluan saja,” balasku sambil membereskan buku-bukuku yang kotor.
“Mars,” panggilnya. Aku baru selesai membereskan bukuku.
“Ya?”
“Naik ke motorku sekarang,”
“Nggak, makasih,” aku segera berlalu. Meninggalkannya yang menatap punggungku
yang mulai bergerak menjauhinya.
Aku kadang nggak habis pikir, kenapa aku bisa berpacaran dengan cowok super cool
kayak Venus. Dan aku juga meragukan, apakah kami ini saling mencintai.
Mengingat semua perlakuan dinginnya, sikap cuek dan masa bodohnya terhadapku.
“Sejak kapan kamu menolak apapun yang kuminta?” tiba-tiba suara Venus terdengar
lagi. Kali ini dia memelankan laju sepeda motornya di sebelahku. Aku masih
terdiam.
“Kalau boleh sejak detik ini dan sampai kapanpun,” balasku datar.
“Apa yang terjadi padamu, Mars?”
“Menurutmu?”
Venus menghentikan laju sepeda motornya. Tiba-tiba dia sudah menggendongku dan
mendudukkanku di sepeda motornya. Aku sempat berontak, namun terlambat, gerakan
Venus terlalu cepat.
Seperti biasa, dalam perjalanan pulang tak pernah ada satu katapun yang terucap
diantara kami. Sepi, sunyi. Mungkin hanya suara lalu lalang kendaraan, atau
suara Venus yang kadang-kadang terbatuk atau berdehem. Suasana yang seperti
inilah yang membuatku bosan. Bosan sekali. Kadang aku merasa kami bukan seperti
seorang kekasih. Tapi lebih tepat diibaratkan sebagai tembok dan pintu!
Sama-sama diam, sama-sama dingin, sama-sama tidak ingin mempermasalahkan hal
yang tak penting untuk dibicarakan.
“Marsha,” panggilnya. Aku berdehem. “Kamu kenapa sih? Sariawan ya? Aku minta
maaf soal kejadian tadi siang,” lanjutnya datar.
“Tumben perhatian,” balasku cuek.
“Aku kan pacarmu,”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Mars,” kali ini dia menoleh ke belakang. “Aku nggak suka kamu bicara seperti
itu,”
“Aku mau berhenti disini aja. Plis Venus, turunin aku,” pintaku. Venus menghentikan
sepeda motornya di tepi jalan. Aku turun dari sepeda motornya.
“Kamu apa-apaan sih?” Venus mulai emosi.
“Aku cuma pengen pulang sendiri,”
“Ya, tapi kan biasanya aku yang anter kamu pulang. Aku nggak mau kamu
kenapa-napa,” raut mukanya mulai berubah. Wajah cueknya yang selama ini selalu
kulihat perlahan lenyap.
“Aku nggak papa dan nggak akan kenapa-napa,” balasku sambil berjalan pelan
meninggalkannya. Venus menatap punggungku yang mulai bergerak menjauh darinya.
Tanpa sadar, air mataku meleleh. Ya Tuhan, bahkan dia nggak peduli aku
pulang sendiri...
“Mars, apa aku punya salah sama kamu?” tiba-tiba sebuah tangan menarikku
lembut. Aku terperangah tanpa menoleh ke belakang.
“Hey, lihat aku,” Venus mengarahkan wajahku ke arahnya. Lalu dia kaget melihat
mataku berair. “Hey, kamu kenapa nangis? Kamu nangis?”
“Apa kamu peduli sama aku? Heh?” emosiku naik. Venus menatap mataku dalam. Aku
tahu dia merasa bersalah.
“Kenapa kamu ngeliatin aku? Kenapa? Kenapa kamu nyamperin aku kesini? Harusnya
kamu pergi! Kamu pergi aja! Nggak usah anggep aku ada! Aku juga nggak butuh!
Aku nggak butuh kamu!” teriakku. Kuacuhkan tatapan mata orang-orang yang
mengarah padaku. Toh, ini semua sudah cukup untukku! Kulepaskan cengkraman
tangan Venus, lalu melanjutkan langkahku. Kuhapus air mata yang semakin deras
mengalir dari pelupuk mataku. Sekalian saja kuhabiskan air mataku hari ini,
agar nanti aku tidak menangis lagi. Apalagi untuk menangisinya. Cowok cuek yang
gak pernah menganggapku ada. Yang bahkan nggak mencintaiku sedikitpun!
BRAKK!
Tubuhku terpelanting jatuh ke aspal. Aku bisa merasakan cairan hangat keluar
dari dahiku. Sepeda motor yang menabrakku refleks melaju kencang meninggalkanku
yang terkapar di aspal. Venus berlari dari kejauhan, aku tak sempat melihat
raut wajahnya karena kepalaku terasa pusing dan tak kuat untuk kutahan. Detik
berikutnya, aku terperangkap dalam gelap.
“Maaaaaaaaars!” Venus berteriak khawatir.
Venus
Dear Mars,
Maafkan aku jika selama ini aku bukan cowok yang baik buat kamu...
Aku sayang
kamu, Mars...
Aku nggak ngerti, kenapa tiba-tiba Mars berubah. Mungkin ini memang salahku.
Aku bukan pacar yang baik untuknya. Aku sadar sikapku selama ini membuatnya
jenuh. Tapi mengapa dia tidak bisa mengerti bahwa aku benar-benar mencintainya.
Apakah dia tidak tahu, kalau dialah cinta pertamaku? Harusnya dia bersyukur,
dia bersyukur mendapatkan hatiku, karena memang aku tidak pernah jatuh cinta
pada gadis manapun, kecuali dia. Harusnya dia mampu menjaga perasaanku. Lalu,
apa yang harus aku lakukan?
“Marsha,” panggilku. Ia berdehem. “Kamu kenapa sih? Sariawan ya? Aku minta maaf
soal kejadian tadi siang,” lanjutku datar.
“Tumben perhatian,” balasnya cuek.
“Aku kan pacarmu,”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Mars,” kali ini aku menoleh ke belakang. “Aku nggak suka kamu bicara seperti
itu,”
Jujur aku terpukul ketika dia mengucapkan kata-kata itu. Aku merasa tak
dianggap. Aku merasa, aku merasa apakah dia sudah tak mencintaiku lagi? Aku
bingung. Ya, aku sangat bingung memikirkan ini.
Kekhawatiranku memuncak saat Mars ditabrak. Aku bahkan sempat blank,
ketika dia terkapar di aspal. Aku benar-benar khawatir. Mars, semoga kamu baik-baik
saja. Aku sangat mencintaimu. Aku janji, saat kamu bangun nanti, kamu akan
mendapati Venus yang lain. Kamu akan mendapatkan Venus yang kamu inginkan. Aku
janji.
Aku hanya bisa duduk berjam-jam menunggu Mars di ruang tunggu. Rasanya semua
tubuhku lemas, tak ingin kuajak bergerak. Gelisah jelas merambati hatiku. Gadis
yang aku cintai ada di dalam ruang UGD, harusnya saat ini dia ada di sampingku,
bukan di ruang itu. Berjam-jam kuhabiskan waktuku dengan berbagai pikiran
tentang Mars. Aku benar-benar mengkhawatirkannya.
Aku hampir tertidur sebelum akhirnya lima orang temanku menghampiriku di ruang
tunggu. Ekspresi wajah mereka jelas menampakkan kekhawatiran.
“Gimana keadaan Mars?” tanya Pandu saat sudah berada di sampingku. Aku menghela
nafas berat.
“Masih belum sadar. Ini udah tiga jam, tapi dokter masih belum memutuskan
apa-apa. Aku takut,” suaraku melemah. Pandu memeluk bahuku dan menepuknya
pelan.
“Sabar Ven, dia bakal sadar kok. Kita bakal nemenin kamu disini,”
“Oke Pan, thanks ya...” ucapku. Pandu tersenyum dan mengangguk.
“Gue cari makanan dulu ya Ven, ntar balik lagi kesini,”
“Oke Sar,” balasku. Ketiga teman cewekku berhamburan meninggalkan ruang tunggu
dan melangkah beriringan menuju kantin rumah sakit.
“Bokap nyokapnya Mars udah dateng?” tanya Davin. Aku menggeleng.
“Tadi udah aku telpon, tapi katanya masih di luar negeri,” balasku. Davin dan
Pandu saling bertatapan.
“Gile, anaknya kecelakaan masih aja mentingin kerjaan. Bonyok macem apaan tuh,”
Davin berkomentar. Disertai anggukan kepala Pandu.
“Udahlah. Yang penting Mars pulih dulu. Biar aku yang urus dia kalaupun
bonyoknya gak bisa nemenin,” ucapku.
Mars
Aku berjalan tertatih menyusuri lorong koridor sekolah. Aku bahkan tidak
mengerti mengapa tiba-tiba aku berada disini. Ada semacam sugesti yang
memaksaku melangkahkan kakiku menyusuri koridor ini. Setelah mencapai langkah
kelima, aku bisa melihat jelas siapa cowok yang tengah duduk di kursi koridor
utama itu. Dari samping dia terlihat keren, dengan gitar di tangannya, dan
sebuah kalung. Itu? Kalung itu? Aku masih ingat jelas ketika aku membelikan
kalung itu untuknya. Dan sekarang, dia memakainya? Ada perasaan bahagia ketika
aku melihat dia memakai kalung pemberianku. Dia masih belum menyadari
kehadiranku. Hingga aku berhasil mencapai langkah kesekian, dan sampai di ujung
koridor, dia baru menatapku.
“Mars,” panggilnya. Ia tersenyum. Suaranya lembut. Jauh dari kesan cool
yang selama ini melekat padanya.
“Venus,” balasku sambil tersenyum.
“Sini,” ujarnya sambil mengayunkan tangannya, mengisyaratkan agar aku mendekat
ke arahnya.
“Kamu sedang apa disini?” ujarku ketika aku sudah berada di sampingnya.
“Aku nungguin kamu,” balasnya sambil tersenyum memandangku. Aku juga tersenyum.
“Kalung itu,” ucapku. Venus menunduk melihat kalung yang melingkar manis di
lehernya. Dia tersenyum, lalu menatapku lagi.
“Iya. Aku selalu memakainya setiap hari. Bagus kan?” ujarnya sambil
menimang-nimang liontin berukiran “Venus&Mars”.
“Bagus. Cocok banget sama kamu,” ujarku sambil tersenyum kecil. Venus tersenyum
padaku lagi.
“Makasih ya,” ucapnya. Aku mengangguk. Venus menyibakkan poni rambutku yang
hampir menutup mataku. Dia merapikan tatanan rambutku yang acak-acakan. Lalu
dengan tenang ia melingkarkan tangannya di pundakku.
“Venus tahu kok, Venus belum bisa menjadi pacar yang baik untuk Mars. Tapi,
jika Mars ingin tahu perasaan Venus sebenarnya, mungkin Mars akan kaget,” ujar
Venus lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Venus sayang sama Mars. Venus
sayang banget sama Mars,” lanjutnya. Aku menatapnya. Ada secuil ketenangan yang
hadir di hatiku saat bisa mendengar langsung Venus mengucapkan kata sayang
padaku. Selama ini Venus tak pernah sekalipun mengucapkan kata itu. Sejak awal
kami jadian, tak pernah kudengar dari mulutnya bahwa dia menyayangiku. Namun
sekarang, rasanya semua mimpiku telah menemui akhirnya.
“Venus... Venus sayang sama Mars?” tanyaku tak percaya. Ia mengangguk.
“Maafin Venus ya... sekarang Venus janji, Venus pengen jadi cowok yang Mars
harapkan. Venus nggak akan cuek lagi kayak dulu, pokoknya Venus mau berubah.
Mars mau kan kasih Venus satu kesempatan lagi?”
“Iya Venus. Mars mau. Mars nunggu saat-saat kayak gini. Mars berharap banget
suatu saat nanti Venus akan mengerti isi hatinya Mars. Sekarang Mars nggak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Mars sayang sama Venus,” ujarku. Venus meraih
kepalaku dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dia membiarkanku terpejam
merasakan kasih sayangnya yang bagiku sangat langka untuk kudapatkan.
“Venus sayang sama Mars,” ujar Venus sambil mencium rambutku.
Tit... tit... tit...
Jari-jariku bergerak pelan. Rasanya kaku sekali urat-urat di jariku, saat
kugerakkan, ada sedikit rasa nyeri yang cukup hebat. Kucoba membuka kedua
kelopak mataku yang juga terasa berat. Pelan-pelan kucoba membuka mataku.
Kukerjap-kerjapkan sebentar. Terlihat olehku ruangan asing beraroma obat-obatan
yang refleks menyerbak menyengat hidungku.
“Mars,” suara itu terdengar lirih, tepat di dekat telingaku. Aku memaksakan
leherku menoleh ke asal suara.
“Mars, kamu udah sadar?” suara itu terdengar kaku.
“Venus,” lirihku. Venus mendekat ke arahku. Ia tak mampu menyembunyikan
senyumnya yang mengembang.
“Guys! Mars sudah siuman!” teriak Venus. Sontak, pintu terbuka dan muncul wajah-wajah
yang tak asing lagi bagiku. Aku tersenyum menyambut kedatangan mereka.
“Mars!” teriak kelima temanku. Aku tersenyum.
“Kamu sudah sadar?” Sari mendekat. Diikuti Fira dan Tia.
“Emang aku kenapa?” tanyaku. Mereka berenam saling berpandangan.
“Kamu kan kecelakaan Mars,” ujar Pandu.
“Oh... iya, aku lupa,” jawabku. Ketiga teman cewekku tersenyum memandangku.
“Kami senang kamu sudah siuman. Udah 3 jam kamu nggak sadar,” jelas Fira. Tia
dan Sari mengangguk.
Aku tersenyum. Terbesit mimpi indah yang baru saja berakhir. Bahkan aku
merasakan mimpi itu adalah sebuah pertanda. Aku menatap lekat wajah Venus. Ia
tersenyum. Senyum yang sama dengan senyum Venus dalam mimpi.
“Venus, andai kamu adalah Venus dalam mimpiku barusan. Mungkin aku akan
mencintaimu selamanya,” bisik hati Mars.
“Kamu harus opname, sayang,” ujar Venus. Aku terperangah. Bukan karena aku
harus opname, tapi karena dia memanggilku ‘sayang’, untuk yang pertama kalinya.
MARS
Aku baru saja dinyatakan sembuh dan bisa meninggalkan rumah sakit. Venus
menjemputku, dia setia menemaniku ketika aku diopname di rumah sakit. Kami
berdua keluar dari koridor rumah sakit dan bersiap pulang. Venus menggendongku
di punggungnya yang tegap. Aku merangkul bahunya. Melingkarkan tanganku di
bawah lehernya.
“Venus seneng kalau Mars kayak gini,” ujarnya. Aku terdiam dalam senyum.
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Seneng aja. Venus kayak nemuin Mars setahun yang lalu,” ujarnya datar. Aku
menipiskan senyumku. Aku masih ingat benar ketika pertama kali kami jadian. Aku
memang sering menggelendot manja pada Venus. Dan hal itu berakhir ketika di
pertengahan bulan jadian kami, karena aku memang merasa dia terlalu cuek.
Tak terasa, air mataku menetes. Aku bahagia dengan Venus yang sekarang. Aku
mencintaimu, Venus. Bulir air mataku menetes tepat di permukaan kulit leher Venus.
“Mars,” panggil Venus. Nada suaranya berubah khawatir.
“Ya,” balasku. Badanku terguncang karena langkah Venus. Aku masih berada di
balik punggungnya. Masih melingkarkan tanganku di bawah lehernya.
“Mars nggak papa kan?” tanya Venus.
“Nggak kok, nggak papa,” balasku dalam senyum, dan tangis kecil.
“Mars nangis ya?” tanya Venus seolah mampu membaca apa yang tengah aku rasakan.
“Enggak kok. Mars nggak nangis,” bohongku. Venus diam.
“Venus udah buat Mars sedih ya? Maaf Mars, kalo Venus belum jadi apa yang Mars
harapkan,” ujar Venus.
“Mars nggak sedih, bahkan Mars bahagia. Mars sayang sama Venus,” ucapku. Bulan
dan bintang bersembunyi dibalik awan malam, menemukan ketulusan dalam
kata-kataku.
VENUS
Ada rasa bahagia menyelinap dalam bilik hati, ketika aku bisa menghabiskan
waktu denganmu, Mars. Inikah yang kamu inginkan? Hanya sebuah kebersamaan yang
sederhana? Jika memang benar, maka aku ingin selalu melakukannya untukmu.
Menjaga kebersamaan kita agar tetap utuh.
Aku bahagia sekali ketika kamu
dinyatakan sembuh. Aku tak sabar ingin menghabiskan waktuku lagi denganmu. Saat
menuju parkiran untuk bersiap pulang, aku menggendongmu di balik punggungku.
Kamu merangkul bahuku. Melingkarkan tanganmu di bawah leherku.
“Venus seneng kalau Mars kayak gini,” ujarku.
“Emang kenapa?” tanya Mars.
“Seneng aja. Venus kayak nemuin Mars yang setahun yang lalu,” ujarku datar,
menyembunyikan kebahagiaanku yang meluap-luap.
Tiba-tiba sebuah bulir kecil air menetes tepat di permukaan kulit leherku. Aku
yakin itu air mata Mars. Perasaanku berbah khawatir.
“Mars,” panggilku. Nada suaraku berubah khawatir.
“Ya,” balasnya. Badannya terguncang karena langkahku. Mars masih berada di
balik punggungku. Masih melingkarkan tangannya di bawah leherku.
“Mars nggak papa kan?” tanyaku.
“Nggak kok, nggak papa,” balasnya dalam senyum, dan tangis kecil.
“Mars nangis ya?” tanyaku. Perasaanku berubah tak karuan.
“Enggak kok. Mars nggak nangis,”
bohongnya. Aku diam. Aku tahu kamu berbohong, sayang.
“Venus udah buat Mars sedih ya? Maaf Mars, kalo Venus belum jadi apa yang Mars
harapkan,” ujarku. Aku gagal lagi membuat Mars bahagia.
“Mars nggak sedih, bahkan Mars bahagia. Mars sayang sama Venus,” ucapnya. Aku
masih belum bisa menetralkan perasaanku. Aku masih merasa aku gagal. Gagal
membahagiakan Mars. Bodoh kamu Venus! Kenapa untuk membahagiakan cewek yang
kamu sayang aja susah banget heh! Sesalku dalam hati.
MARS
“Udah siap sayang?” tanya seorang cowok berjas hitam elegan yang telah menunggu
di pintu masuk. Aku yang baru datang dari arah parkiran, tersenyum
menghampirinya. Kesan cool tak mengurangi ketampanan cowok itu.
Aku tersenyum. Kubiarkan Venus menatap kagum melihat penampilanku. Ia tersenyum
manis lalu menyodorkan lengannya ke arahku. Aku menerimanya dalam senyuman. Tak
terasa, air mataku menetes. Rasanya aku benar-benar menemukan kebahagiaan
bersama Venus yang dulu.
“Hey, kok nangis? Malu ih diliatin sama temen-temen loh,” ujar Venus. Aku tak
peduli. Kutatap lekat wajah Venus dalam senyum dan air mata bahagia.
“Hehehehe,” aku hanya tertawa kecil. Venus meraih tissue dari saku jasnya. Lalu
mengusapnya hati-hati di pipiku. Aku tetap tak lepas dari senyum.
“Ya udah, ke kamar mandi dulu gih! Cuci muka biar cantik,” perintah Venus usai
mengusap air mataku. Aku menurut. Kulangkahkan kakiku mencari kamar
mandi.
**
“Venus mana?” tanyaku pada cowok
yang tengah tersenyum tanpa kedip melihatku memakai gaun serba biru muda yang
menawan dengan pita yang kubiarkan menghiasi rambutku yang terurai. Aku
celingukan mencari keberadaan Venus yang sejak tadi bersamaku. Tapi sekarang
dia benar-benar menghilang. Aku lelah melangkahkan kakiku mencarinya.
“Kenapa kamu masih mencari Venus? Apakah kamu... mencintainya?” tanya cowok
itu. Balutan jas hitam yang dikenakannya memang membuatnya semakin keren dan
dewasa. Tapi aku memalingkan mukaku ketika ia mulai mencari jawaban dari binar
mataku.
“Ya. Aku mencintainya. Sama seperti dia mencintaiku,” jawabku sekenanya. Mataku
tetap tak lepas celingukan, berharap Venus berada di kerumunan cowok ber-jas casual
dan cewek bergaun manis yang tak jauh dari mejaku.
“Hmmm,” cowok itu menunduk. Sepertinya ia merasa kehadirannya tidak diharapkan.
Aku menatapnya sekilas, tetap acuh. “Padahal dia sudah menitipkanmu padaku,”
ujarnya pelan, nyaris tak terdengar. Namun telingaku tak cukup tuli untuk
mendengar semua yang diucapkannya dalam kelirihan itu.
“Apa kamu bilang?” tanyaku. Berharap dia menatapku sekarang. “Azril, kumohon
ulangi perkataanmu barusan,” ulangku dengan nada memohon. Cowok bernama Azril
didepanku mendongakkan wajahnya setelah beberapa saat tertunduk.
“Ya, Venus meninggalkanmu dalam pesta ini dan memintaku menemanimu,”
“Maksudmu? Venus sengaja meninggalkanku?”
“Ya. Karena dia ingin membuatmu bahagia, dia menitipkanmu padaku. Tidak hanya
malam ini, tapi seterusnya. Aku dimintanya untuk menjaga kamu, Mars,”
“A...apa?” ujarku nyaris tak percaya. Hampir saja air mataku jatuh, namun
berhasil kutahan.
“Dia menginginkanku membahagiakanmu, Mars. Dia benar-benar kecewa pada dirinya
sendiri ketika dia sudah membuatmu menangis dan sakit hati. Mungkin ini saatnya
untuk dia membuktikan kepadamu bahwa ia juga mengharapkan kebahagiaanmu,” ujar
Azril. Aku masih tertegun, masih sulit menerima kenyataan.
Kejadian beberapa menit yang lalu ter-flash back dalam memori otak
Azril. Dia masih ingat benar apa saja yang dikatakan Venus padanya, saat dimana
ia merasa aneh dengan keadaan itu, meski terselip rasa bahagia yang tertahan.
Saat dimana Venus memintanya mengambil alih statusnya sebagai pacar Mars. Azril
sempat shock mendengar pernyataan itu, namun Venus berhasil menjelaskan
semuanya.
“Aku sudah cukup gagal pada cinta pertamaku ini. Aku gagal membuatnya tersenyum
bahagia saat bersamaku. Aku gagal memanjakannya dengan sikap-sikap manis yang
diharapkannya bisa kulakukan. Aku gagal sebagai cowok, aku gagal mencintai
kekasihku,” ucap Venus saat itu. Azril hanya terdiam menatap Venus.
“Jika kamu bersamanya nanti, sungguh, aku merestui kalian. Kuharap dia bisa
lebih bahagia bersamamu ketimbang aku. Aku sudah cukup puas menjadi cowok tolol
buatnya. Maukah kau menjaganya untukku? Aku tahu, dia masih mencintaimu meski
sudah tiga tahun kalian berpisah,”
Pernyataan itu membuat Azril memaksa lidahnya bergerak menanyakan sesuatu. “Apa
kau bilang? Mars masih mencintaiku?” tanyanya dengan tatapan
‘benarkah-apa-yang-kamu-katakan-barusan’.
“Iya. Dia masih sering menceritakan kamu padaku. Tentang bagaimana dulu kamu
bisa membuatnya tersenyum sepanjang hari, hal yang jelas-jelas tak akan bisa
aku lakukan untuknya. Terimalah pintaku kali ini, Zril. Aku yakin kamulah cowok
yang diidamkannya selama ini,” ujar Venus. Hatinya teguh, dia benar-benar
terlihat tegas, tanpa kerapuhan. Padahal saat itu batinnya menangis.
Benar-benar menangis.
Azril terlihat berfikir. Dia tak bisa memungkiri perasaannya, bahwa ia juga
masih mencintai mantan kekasihnya saat SMP itu.
“Baiklah. Demi kamu, Venus.” Ujar Azril akhirnya. Venus tersenyum. Senyum yang
terlihat tulus namun ia benar-benar terpukul mendengarnya.
“Terima kasih, Azril. Namun, sebelum aku meninggalkan kalian, bolehkah aku
berpesan padamu?”
“Ya. Apa itu?” tanya Azril.
“Jaga dia, jaga hatinya yang masih polos, yang terlalu naif menghadapi
dunianya. Dia benar-benar gadis lugu dan polos. Jadilah sandaran yang nyaman
ketika ia ingin meluapkan segala kekesalannya. Berikanlah bahumu untuknya
ketika ia ingin melupakan luka-luka dengan tangisnya. Tersenyumlah dengan tulus
ketika dia mendapat nilai A+ untuk mata pelajaran yang disukainya,” cerocos
Venus. Azril mendengarnya dengan seksama. “Jangan turunkan dia dari mobilmu
ketika ia minta turun, karena saat itu dia hanya emosi. Raih kepalanya dan
sandarkan di dadamu ketika ia cemberut. Bilang padanya kalau kamu benar-benar mencintainya,
dia akan tersenyum mendengarnya,”
“Jadilah orang pertama yang mengucapkan selamat malam dan bermimpi indah
untuknya. Telfon dia lima menit sebelum dia memejamkan mata. Ucapkan kata
sayang padanya, maka esok paginya kamu akan mendapat senyum cerianya,” Venus
terdiam sesaat. “Peluklah dia saat dia benar-benar merindukanmu,”
Venus tersenyum pada Azril sambil menjabat erat tangan cowok di depannya itu.
Lalu, dengan langkah pelan dia meninggalkan Azril terdiam di mejanya. Venus
melangkah keluar, berjejalan dengan pasangan cowok-cewek berjas rapi dan
bergaun indah dengan warna beragam. Hatinya sedikit lega, setidaknya dia masih
bisa melihat cewek yang disayanginya tersenyum bahagia tanpa luka.
Aku meneteskan air mataku mendengar cerita Azril tentang apa yang dikatakan
Venus padanya. Dadaku terasa sesak, mataku terasa panas, dan tentu saja,
benteng-benteng pertahanan dalam hatiku yang susah payah kubangun untuk
menghadapi apapun kemungkinan yang akan kuterima sebelum aku menyanggupi
permintaan Azril ketika aku mendengar ceritanya nanti, benar-benar runtuh.
Runtuh tanpa puing secuilpun. Aku bangkit dari kursi. Berlari keluar ruangan
pesta yang penghuninya serta merta mendadak hening ketika melihatku mencucurkan
air mata. Namun itu hanya berlangsung sebentar, karena Azril buru-buru
menyusulku.
“Venuuuuuuuuus! Kamu dimanaaaaa?!” teriakku. Tangisku pecah, yang tadinya hanya
berupa bulir-bulir kecil bening, kini seperti guyuran hujan. Air mata yang
hangat itu terus membasahi kelopak mata dan kedua pipiku. “Aku Cuma sayang sama
kamu, Venus. Aku sayang kamu! Kamu jangan pergiii!!!” aku sesenggukan. Sesak
dalam dadaku terasa menyiksa ketika tak juga kutemukan Venus.
Di balik mobil CR-V Silver itu, seorang cowok berusaha menahan perih dalam
hatinya. Ia bersandar pada mobil itu tanpa berkata-kata lagi.
**
“Udah sampai Mars,” ujar cowok di sebelahku. Aku terdiam. Tak lepas mengawasi
pemandangan malam, mencoba mengusir rasa sakit hatiku.
“Ya, aku tahu,” balasku. Kubuka pintu mobil Azril lalu kubanting pelan setelah
aku berada di luar. Tubuhku terasa dingin. Balutan gaun biru muda itu tak cukup
menghangatkanku.
Azril membuka pintu mobilnya. Lalu berjalan menghampiriku.
“Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kenyataan ini. Beri aku kesempatan
untuk menggantikannya, aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap
mencintaiku lagi seperti dulu,” ujar cowok jangkung berwajah oriental itu. Aku
menatapnya.
“Aku tidak mencintaimu lagi, Zril. Sejak kita berpisah aku selalu mencoba untuk
membuang rasa cintaku ke kamu,” balasku datar.
“Tapi Venus bilang...”
“Dia bohong. Dia tahu kalau aku hanya mencintainya, bukan kamu,” ujarku sambil
bersiap meninggalkan Azril.
“Marsha,”
“Makasih buat tumpangannya. Selamat malam,”
Aku benar-benar meninggalkannya. Kupaksa kakiku melangkah masuk pelataran
rumah. Setelah mencapai langkah kesekian, aku membuka pintu rumah dan
membantingnya pelan diiringi tatapan mata Azril.
Azril menunduk dalam. Ia baru menyadari kesalahan terbesarnya selama ini.
“Selamat malam, Marsha,”
Aku menoleh ke belakang.
“Malam,”
Lalu suara terakhir yang kudengar adalah pintu yang kubanting pelan.
**
“Tau Venus nggak?” tanyaku pada beberapa teman sekelas Venus.
“Enggak tuh, seminggu ini dia nggak keliatan sama sekali. Surat juga nggak
ada,”
“Dia absen?”
“Iya Mars. Udah semingguan ini. Aku sama temen-temen juga udah hubungin dia,
tapi nomer handphone-nya nggak aktif tuh,”
“Oh... eh, makasih ya,”
Ini sudah kedua belas hari Venus menghilang tanpa kabar. Perasaan kalut
merambati bilik-bilik hatiku. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk mencari
keberadaannya. Entah itu di kelas, rumah, saudara, tetangga yang dekat
dengannya. Namun hasilnya nihil. Venus benar-benar menghilang. Jika aku tak
memakai logikaku, mungkin aku sudah bunuh diri saat ini. Betapa tidak, orang
yang kamu sayangi tiba-tiba menghilang tanpa jejak, dan meninggalkanmu
dalam sebuah tanda tanya besar akan kelanjutan hubungan kalian. Hingga akhirnya
usahaku menemui titik lelah. Ya, aku lelah dengan semua permainan ini. Aku
lelah melangkahkan kakiku, mengubur dalam-dalam pedih batinku, membiarkan tubuh
tak punya cukup nutrisi terserang hujan dan panas untuk mencari Venus.
Satu-satunya cowok yang setia menemaniku untuk mencari keberadaan Venus adalah
Azril.
“Istirahatlah yang cukup Mars... kamu butuh sedikit waktu luang,”
Aku tetap mengaduk orange juice tanpa ada niat untuk meneguknya sedikitpun.
“Aku mengkhawatirkanmu,”
“Bagaimana bisa kamu sekarang mengkhawatirkan aku padahal dulu kamu
mencampakkanku seperti sampah demi perempuan matre pujaan hatimu!”
Azril menunduk dalam.
“Ya, aku minta maaf. Itu salahku. Aku salah melepasmu demi Erlin,”
“Ya. Aku sudah bisa menebak, simpan saja kata maafmu,”
“Apakah kamu sangat membenciku?”
“Jika iya, maukah kamu mengantarku pulang?”
“Mars,” ujarnya saat aku bangkit dari kursi dan bersiap pergi.
“Jika kamu masih meminta satu kesempatan dariku untuk membukakan pintu hatiku
buat kamu, maaf Zril, aku nggak bisa,” ucapku lalu berlalu meninggalkannya.
Azril melayangkan bogeman mentahnya di atas meja. Rasa kesal bercampur sesal
kini sudah tak berarti lagi. Sekalipun perhatiannya seluas samudra pun, Mars
tak akan mau kembali
padanya.
Senja menemaniku dalam getir
perasaan yang membelenggu. Seraut wajah yang tak asing, melesat cepat dalam
ingatanku. Yang kuingat hanya senyumnya, raut wajah khawatirnya saat melihatku
terluka, ekspresi dinginnya saat aku menggelendot manja untuk sekedar beli es
krim, genggaman tangannya yang menenangkanku saat malam api unggun, wajah
teduhnya yang membuyarkan kesedihanku, sorot matanya yang tajam namun mampu
mengoyak rasa benciku dan setitik kehangatan cinta yang selalu diberikannya
dalam diam. Kubiarkan keramaian menghentak keberadaanku. Burung-burung camar
berkeliaran, melayang, bermesraan dengan mega merah, mengupas cakrawala dengan
siulan. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, lalu membiarkan pasir pantai
mengotori celana dan sela-sela jemari kakiku ketika kupaksakan kedua kakiku
berselonjor.
“Sampai kapan aku harus menunggumu?”
Suara itu begitu saja kudengar ketika aku tengah terdiam cukup lama. Rasanya
muak, ingin berontak namun tak sanggup. Dia begitu susah untuk dibentak. Bukan
karena dia cowok, tapi karena aku ingat, dia pernah jadi bagian dari
orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku. Aku tak mungkin sampai hati
membentak orang yang aku sayang.
“Apa aku sudah tak punya tempat lagi di hatimu?”
Aku memaksakan kepalaku yang berat untuk mendongak.
“Jika iya, maukah kau pergi dariku?”
Aku bisa mendengar helaan nafas yang berat.
“Aku hanya ingin...”
“Kamu pernah berarti dalam hidupku, Zril. Tapi itu dulu,”
“Apa? Zril?” suara itu terdengar heran. “Kamu memanggilku Azril?” lanjutnya.
Aku kaget. Ya tuhan! Sedari tadi kukira aku sedang berbincang dengan Azril. Aku
menoleh.
“Ven...”
“Kamu kira siapa? Azril?”
Aku tersenyum seiring dengan linangan air mata yang meleleh cepat dari sudut
kelopak mataku. Dengan cepat jemari Venus mengusap bulir-bulir air mata itu.
Bisa kulihat dengan jelas bagaimana raut wajah khawatirnya ketika dengan tenang
jemarinya mengusap pelan satu per satu air mata yang merembes di pipiku.
“Cewek cantik nggak boleh banyak nangis ya. Nanti jelek loh,”
Aku menghambur ke pelukan Venus. Kutumpahkan semua air mata yang kubendung
berhari-hari.
“Venus, kamu kemana ajaaa?” tangisku meledak begitu dengan tenang aku merengkuh
badannya yang tegap. Kutinju pelan punggungnya, bersamaan dengan air mata yang
berlinangan membasahi bajunya.
“Aku nggak kemana-mana,” ucapnya pelan. Tanpa kusadari, dia tersenyum. Lalu
mengusap lembut rambut lurusku yang tergerai sepunggung. Diciumnya penuh
sayang, lalu menenggelamkanku dalam pelukannya.
“Kamu menghilang Ven, kamu buat aku bingung cariin kamu,”
“Aku nggak pernah menghilang, aku nggak pernah pergi dari kamu Mars,”
“Trus, kenapa nomer hapemu nggak aktif, kenapa dua belas hari kamu nggak masuk
sekolah, kenapa kamu menghilang di acara prom nite itu? Kenapa Ven? Aku sayang
sama kamu, kenapa sih kamu nggak pernah ngerti,” aku sesenggukan. Venus masih
dengan tenang memelukku, tanpa berusaha melepaskan rengkuhan kedua tangannya
dariku.
“Maafin aku ya...”
“Nggak ada maaf buat kamu Ven, kamu jahat,” aku terus sesenggukan. Menumpahkan
segala kepedihan yang selama ini aku pendam.
“Kalo aku jahat, aku nggak mungkin sejauh ini Mars,”
“Maksud kamu?”
Venus tersenyum penuh arti.
Tepat dari arah belakang, kegaduhan terjadi. Tepuk tangan dan dendangan lagu
selamat ulang tahun terlantun dari beberapa mulut remaja berkostum santai
dengan seulas senyum bahagia. Aku menoleh. Mendapati orang-orang yang aku
sayangi tengah berdiri di belakangku, aku menutup wajahku dengan kedua tangan,
aku malu, sekaligus bahagia. Jadi semua ini pekerjaan Venus? Aku beralih
pandang ke arah Venus yang tersenyum manis. Aku memukuli badannya, tangannya,
hingga wajahnya yang gagal karena lebih dulu ia menyilangkan kedua tangannya
untuk melindungi diri. Aku tersenyum dalam tawa dan tangis. Tak menyangka Venus
melakukan ini semua untukku. Ya, untuk Mars, kekasihnya.
“Happy Sweet Seventeen planet Mars-ku,” ujar Venus sembari merengkuh tubuhku,
menyandarkan kepalaku dalam pelukannya. Aku tersenyum di sela-sela air mata
yang meluncur sukses dari kedua kelopak mataku. Apakah aku bermimpi?
“M... makasih Venus,” balasku sambil melepaskan diri dari rengkuhan Venus.
Venus mengangguk dengan seulas senyum manis.
“Makasih temen-temen,” ujarku kepada segerombolan remaja yang tengah sibuk
menyelipkan balon dan terompet di tangan mereka. Ada yang membawa sekotak tart
berwarna ungu muda yang tertancap olehnya lilin angka 1 dan 7.
“Sama-sama Mars,” ujar mereka kompak.
“Yaudah yuk ditiup dulu lilinnya, ntar keburu mati loh,” ujar salah satu dari
gerombolan teman-temanku.
“Halaaaaaah bilang aja kalo udah pengen makan kue tart-nya,” ledek yang lain.
Yang mendengar hanya bisa tertawa meledek, tak terkecuali aku dan Venus.
Aku bersiap meniup lilin.
“Make a wish dulu,” ujar Venus dan teman-temanku berbarengan. Aku tertawa kecil.
Tuhan, izinkan aku merasakan kebahagiaan ini sampai usai masa-ku nanti. Aku
mencintai mereka, aku mencintai Venus-ku do’aku dalam hati lalu meniup
habis api kecil yang menyala di ujung lilin angka 1 dan 7 itu. Venus dan
teman-temanku bertepuk tangan, dan aku hanya bisa melukis senyum kecil di sudut
bibir kecilku.
“Happy Sweet Seventeen sayangkuuu,”
ujar sobat-sobat cewekku sambil memelukku erat sampai aku merasa sesak.
“Aduuuh, duuh... aku nggg... gak bisa nafas,” ujarku terbenam tubuh teman-teman
cewekku yang brutal. Mereka cekikikan lalu melepas pelukan mereka.
“We love you,” ucap mereka sambil menyelipkan tawa renyah.
“I love you too, guys,” ujarku sambil tersenyum membalasnya.
“Udah ya sesi so sweet so sweet-annya, sekarang waktunya mainan air,” ujar
Venus tiba-tiba sambil menggendong tubuhku yang tak sempat berontak. Terlambat,
saat aku berontak, Venus lebih dulu membenamkan tubuhku dalam air laut.
“Happy birthday Maaaaaars, cihuuuuuuuy,” ujar teman-temanku sembari
berebutan menyiram air laut. Aku yang tanpa persiapan, kaget setengah mati.
Dasar Venus! Aku mengejar Venus dan teman-temanku yang lain. Kucipratkan air
laut yang membasahi bajuku. Ada yang sorak sorai kegirangan, ada yang langsung
membalasku dengan cipratan air. God, it’s perfect afternoon!
Venus menyerah. Ia berhenti, lelah berlari. Aku berlari mendekapnya. Membiarkan
basah di bajuku menempel di baju Venus. Venus hanya tertawa membiarkanku
mendekapnya. Sebelum akhirnya dia menatap wajahku yang basah. Ia tersenyum. Aku
tersenyum juga, dalam tetes air laut yang masih mengendap di sela-sela
rambutku.
“Apa aku berhasil?” tanyanya dengan nafas terengah-engah. Aku mengangguk.
“Ya. Kamu memang sudah berhasil,” balasku sambil mengesiapkan rambutku yang
menutupi mataku. “Kamu berhasil membuatku shock,” ujarku dengan tawa renyah.
Lalu kembali menyipratkan air yang mengendap di bajuku ke arah Venus.
“Bukan itu. Apa aku... berhasil menjadi Venus yang kamu mau?”
Aku terkesiap.
“M... maksudmu?”
“Bukankah ini Venus yang kamu mau? Apa aku sudah berhasil?”
Aku tersenyum trenyuh. Ada keteduhan yang tulus saat kulihat binar matanya
terpancar lembut.
“Ya. Kamu memang berhasil dan akan selalu jadi Venus yang aku mau,”
Venus tak berkata-kata lagi. Hanya senyum yang dilukis di sudut bibirnya.
Hilang sudah kebekuan Venus yang dulu selalu mengusikku. Venus benar-benar
berubah. Dia ingin membahagiakanku.
“Sureprise!” tiba-tiba krim vanilla dari kue tart ulang tahunku melesat
sukses menghiasi wajah dan badanku. Aku berteriak kaget. Samar kulihat
teman-temanku tertawa bahagia. Aku ikut tertawa lalu mengejar keberadaan tart
ulang tahunku. Ada beberapa yang kena, ada yang lihai menghindar. Aku terhanyut
dalam suasana senja yang memukau. Berpasang-pasang mata mengawasi gerak-gerik
kami, ada yang ikut tertawa, ada juga yang usil memotretku dan teman-teman
super menyebalkan-ku.
“Apa tugasku disini sudah selesai?” sebuah suara mengagetkan Venus yang berdiri
di bibir pantai, mengawasiku dan teman-temanku yang asyik perang krim. Venus
menoleh.
“Terima kasih bantuannya,” ujar Venus tulus. Cowok berkacamata hitam itu
mengangguk.
“Ada kalanya bermain peran itu menjengkelkan,” ujar cowok itu sembari melepas
kacamatanya.
“Maksudmu?”
“Bagaimana jika aktingku kemarin membuatku benar-benar terjebak pada perasaanku
sendiri?”
Venus tertegun.
“A... apa kamu mencintai M... Mars?”
“Jika iya? Apa kau akan menyerahkannya padaku sebagai imbalannya?” tanya cowok
itu. Matanya mengawasi keraguan yang menyelimuti wajah mendung Venus.
“Aku tak tahu. Biar Mars yang menentukan sendiri pilihannya,” balas Venus.
Cowok itu tertawa renyah. Mencari binar mata keheranan Venus yang tersembunyi
dalam diam.
“Aku bercanda,” ujar Azril, cowok berkacamata di sebelah Venus. “Aku memang
mencintainya, tapi itu dulu, sebelum kamu menjadikannya bagian dari dirimu,”
“Dan?” Venus masih tak bisa melepas rasa penasarannya.
“Dan aku menitipkannya untukmu. Jaga dia,” balas Azril sembari membuang
pandangannya ke tengah pantai, tempat dimana Mars dan teman-temannya masih seru
bermain perang krim.
“Aku tak cukup beruntung kali ini. Kuakui, Mars memang cewek yang sangat baik.
Dan kamu beruntung bisa memilikinya. Kuharap kau tak akan melakukan kesalahan
yang pernah kulakukan padanya,” ujar Azril mengenang masa lalunya. Venus
menatap Azril.
“Kamu bisa mempercayaiku,” ujar Venus. Mata mereka bertemu.
“Aku percaya padamu, Ven,” balas Azril sambil tersenyum.
“Hey kaliaaaaaaan!” aku berlari ke arah bibir pantai, mendapati kedua cowok
yang tengah asyik mengobrol.
“Dia datang,” ujar Azril. Venus tersenyum menatapku.
“Apa kalian sudah puas mengerjaiku?” tanyaku penuh selidik. Lalu kucipratkan
air laut ke arah mereka yang refleks mencoba menghindari cipratan air itu
sambil mengulum senyum lebar.
“Puaaas banget,” balas Azril, tersenyum. “Happy birthday, Mars,” ujar
Azril sembari tak lepas mengulum senyum bahagia.
“Makasih, dan makasih juga untuk jebakan menyebalkannya,” balasku sambil
tersenyum. Azril terkekeh. Aku melirik Venus yang juga ikut tersenyum.
“Kalian berdua perlu diberi peringatan,” ujarku yang tiba-tiba sudah berada di
tengah-tengah mereka. Dengan sekuat tenaga, kuseret cowok-cowok menyebalkan
yang sudah menjadikanku tokoh utama dalam akting sukses mereka. Yang ditarik
hanya tertawa pasrah ketika teman-temanku sudah siap dengan krim di genggaman
tangan mereka.
“Rasakan ini, hahahaha,” ujarku jahat pada Azril dan Venus yang sudah tak dapat
menghindar lagi.
Tuhan itu tak pernah tidur. Dia telah mengabulkan inginku yang sekian lama
kututup rapat dalam hatiku. Seperti sekarang, Venus yang dulu kupikir tak akan
bisa merubah sikap dinginnya, kini sifat dan sikapnya bisa jadi sehangat candle
light dinner.
**
Lima tahun kemudian...
“Hey, selamat yaaaa,” ujar cowok super-dewasa dengan tampilan sederhana. Jas
hitam legam jahitan perancang terkenal, dasi yang menggantung rapi di kerah
kemeja putihnya, dan wajahnya yang tak jauh berbeda saat lima tahun yang lalu
aku bertemu dan menjalin kebersamaan dengannya.
“Venus?” tanyaku hati-hati. Bola mataku membulat, berbinar-binar begitu melihat
siapa dan bagaimana orang yang berdiri di depanku sekarang.
“Ya. Ini aku,” balasnya sambil tersenyum manis. Tak pernah berubah dengan
senyumnya dulu.
“M... makasih,” aku seperti ingin menangis. Bagaimana tidak, sudah empat tahun
terakhir sejak aku memulai pendidikan S-1 ku, aku tak pernah sekalipun bertemu
dengan Venus. Namun memang tak pernah ada kata putus yang terucap dari bibir
kami.
“Kaget?” tanyanya sambil tersenyum. Membuatnya semakin terlihat cakep dengan
kostumnya yang rapi.
“Banget,” ujarku. Aku masih mengenakan toga dan menggenggam erat penghargaan
atas perolehan IP-ku yang mengagumkan.
“Aku mau ngomong sama kamu,” ujar Venus, bernada misterius. Aku mengikuti gerak
langkahnya. Dia berhenti di suatu tempat, dimana orang-orang masih ramai
bolak-balik menemani putra dan putri kesayangan mereka menyelenggarakan wisuda.
“Mau ngomong apa?” tanyaku penasaran.
Venus terdiam sesaat. Tiba-tiba sebuah musik terlantun merdu dari arah aula.
Membuatku keheranan dan menggelitikku untuk celingukan mencari keberadaan orang
yang usil memainkan musik classic itu. Tiba-tiba Venus meraih tanganku.
Ia tersenyum sambil mengecup punggung tanganku pelan.
“Venus?” tanyaku masih dalam keheranan yang sama.
“Will you marry me?” tanya Venus sambil tak lepas dari rekahan senyum
yang tulus, dengan tangan kanan yang membukakan kotak merah kecil, tempat
sebuah cincin itu tergeletak.
“A... aku,” aku tak bisa menyembunyikan kekagetan yang membludak dalam hatiku.
Rasanya aku ingin menangis saja, biar segala perasaan yang mengendap dalam
hatiku bisa keluar.
“Nggak dijawab sekarang juga nggak papa, aku tahu Mars butuh waktu, kan?” ujar
Venus sambil tetap mempertahankan letak kotak kecil berwarna merah yang di
dalamnya tersembul cincin emas yang berkilau di tangan kanannya. Ingin rasanya
aku berkata ‘yes, i will’ tapi rasanya lidah ini kelu.
“Hey... buang segala keraguanmu selama ini, jika memang kamu masih menyimpannya
rapi dalam laci-laci hatimu. Setidaknya, dengan ini, aku membuktikan
keseriusanku sama kamu, Mars. Aku sayang kamu,” ujarnya lagi. Kali ini bisa
kurasakan flash light kamera tengah berkilatan di sekitarku. Aku
tak peduli, aku hanya ingin menjawab pertanyaan Venus. Will you marry me?
Venus tersenyum. Berusaha menemukan wajahku yang tengah tertunduk.
“Hey, kenapa?” tanyanya lembut. Aku membenamkan mataku yang lentik dalam tangis
dan senyum. Tak kupedulikan apa make up-ku akan luntur, maskara-ku hancur, atau
lisptik yang kuoleskan lembut di bibirku akan kabur warnanya. Yang kupedulikan
saat ini adalah detik-detik dimana aku akan menjadi milik seseorang. Ya,
seseorang yang tak pernah kuduga akan menungguku sampai saat ini.
Kumantapkan niatku. Kubulatkan tekad-ku. Apapun yang terjadi, inilah pilihanku.
Aku masih gamang. Ingin mengatakan namun lidah tak ingin kalimat itu meluncur.
“A... aku,”
Venus menunggu.
“Maaf,”
Bisa kulihat sinar kekecewaan yang samar terpancar dari bola mata hitam milik
Venus. Bibirku terus memaksaku untuk melanjutkan kalimat yang masih menggantung
agar tak terlalu lama Venus mengira-ngira jawaban atas pertanyaannya padaku.
“Aku tidak bisa menikah denganmu,” balasku. Kudengar sekilas dengungan
kekecewaan dari orang-orang yang ternyata telah berkerumun melihatku dan Venus.
Sumber dimana flash light kamera yang berkilat di sekitarku. Venus
menatapku lekat.
“Hmm... ya, mungkin aku kalah start dengan yang lain. Jika memang itu
keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada,” ujar Venus akhirnya. Ia
menutup kotak cincin itu. Lalu menimang-nimangnya pelan.
“Akan kau berikan kepada siapa cincin itu?” tanyaku ragu.
“Kepada orang yang bersedia memberikan waktu dan hatinya hanya untukku,” balas
Venus tanpa memandangku. Aku terkesiap.
“Maafkan aku Ven, aku tak bermaksud melukai hatimu,” ujarku pelan. Venus
menoleh, memandangku dalam senyumnya yang teduh.
“Tak apa. Semoga kamu bahagia dengan keputusanmu ini. Ayah dan ibumu sudah
menunggumu diluar, mereka telah... mempersiapkan segalanya,” ujar Venus tertunduk.
Aku menghela nafas. Kuberikan sedikit udara pada rongga-rongga dadaku yang
terasa sesak.
“Aku... tidak,” aku mencoba membuat Venus bertahan pada tempatnya. Venus memang
tetap duduk, lalu dia mencium pipiku lembut. Dalam kesekian detik berikutnya,
dia pergi meninggalkanku.
“Aku memang nggak mau menikah denganmu, tapi aku ingin jadi ibu dari
anak-anakmu nanti, Venus. Aku sayang kamu!” teriakku. Venus berhenti melangkah.
Dia menoleh dan terpaku di tempatnya berpijak. Aku tersenyum dalam tangis
kecil, dan menghampirinya.
“Aku mau habiskan sisa waktu dan memberikan seluruh hatiku bersama dan hanya
buat kamu,” ujarku. Venus tersenyum sambil mengusap bulir air mata yang tersisa
di sudut mataku. Aku memeluknya. Ditengah orang-orang yang bertepuk tangan.
Venus membenahi toga-ku, lalu membenamkanku dalam pelukannya.
“Itu berarti, kamu mau kan menyelipkan cincin ini di jari manis kamu?” tanya
Venus sambil merogoh kantong jas-nya dan membuka kotak cincin yang tadi
disimpannya. Aku mengangguk. Membiarkan Venus menyelipkan cincin itu di jari
manisku. Aku tersenyum, terlalu bahagia hingga tak bisa lagi menitikkan air
mata.
“I Love You, Marsha,” ujar Venus bersambut senyum yang merekah cerah di
bibirku. Kubiarkan Venus memeluk pundakku dan menuntun langkahku menuju
parkiran kampus. Terima kasih Tuhan untuk hadiah ini, aku mencintaiMu...
ujarku dalam hati. Bisa kurasakan genggaman tangan Venus yang hangat. Bisa
kudengar detak jantungnya yang seolah mengatakan ‘aku mencintaimu’. Bisa
kucermati tiap jengkal tubuhnya seolah memberi pesan ‘aku disini untukmu’.
Cinta itu indah. Ketika aku bertemu denganmu, Venus.
END
Read Users' Comments (0)