“Jangan beri pupuk atas cinta yang tak
pantas ini. Jangan beri harapan kepada rasa yang tak wajar ini,” – Keena untuk
Nubie.
Gadis
itu duduk termangu di seberang sungai kecil yang mengalir tenang membatasi
perbukitan kebun teh. Aroma daun teh menyebar menebar ketenangan menjelajah
senja yang semakin muram. Ia terdiam sembari meletakkan dagunya diatas lutut.
Memejamkan mata sembari sesekali menelisik aliran air yang bermuara di sebuah
danau.
Gadis
itu masih termangu. Menunggu.
“Keena!!”
sebuah suara meneriakkan namanya. Gadis itu menegakkan lehernya, mencari asal
suara. Matanya terpaku pada sebuah sosok yang datang mendekat. Seorang cowok
seusianya berlarian menyebrang sungai kecil yang menghubungkan sepetak ladang
teh dengan ladang teh yang lainnya.
“Apa?”
balas Keena setengah berteriak. Cowok itu tersenyum lebar sembari menaiki
sebuah undakan kayu yang memanjang, sebagai jembatan sebuah sungai kecil dengan
ladang teh.
“Sebuah
surat datang dari kota,” ujarnya bersemangat. Keena berbinar. Matanya bersinar
begitu kata-kata itu menembus telinganya. Ia segera bangkit dan menyusul cowok
yang sedang berusaha menyebrang itu. Keena berdiri di ujung jembatan kayu
kecil, menanti sebuah surat yang sudah berada di genggaman tangan cowok
itu.
“Dari
Nubie?” tanya Keena tak sabar. Cowok itu mengangguk-angguk hingga sampai di
ujung jembatan, tepat berdiri di depan Keena.
“Mana?
Mana?” tanya Keena sembari memperhatikan tangan cowok itu yang terlebih dulu
disembunyikan di balik punggung.
“Beri
aku satu nyanyian, akan kuberikan surat ini padamu,” balas cowok itu. Keena
tersenyum. Ia berjalan pelan menuju tempat dimana dia duduk tadi. Cowok itu
hanya bisa mengekor Keena.
“Lagu
apa yang ingin kamu dengarkan?” tanya Keena menatap kedua bola mata cowok di
sebelahnya. Cowok itu menampakkan deretan gigi-gigi putihnya, tersenyum senang
dan mulai berpikir.
“Lagu
apa yang paling Keena suka?” tanya cowok itu. Keena tersenyum lagi, kali ini
membuatnya semakin terlihat kalem.
Indah,
terasa indah...
Bila
kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat
mungkin terciptakan rasa
Keinginan
selalu memiliki...
Keena
merasakan batinnya menggelegak. Melelehkan cairan kesabaran akan penantiannya
selama ini. Ia bahkan tak tahu, sampai kapan dia mampu menyanyikan kelanjutan
lagu ini dengan penghayatan yang sama.
Namun
bila itu semua...
Dapat
terwujud dalam satu ikatan cinta...
Tak
semudah seperti yang pernah terbayang
Menyatukan
perasaan kita
Tetaplah
menjadi bintang di langit
Agar
cinta kita akan abadi
Biarlah
sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar
menjadi saksi kisah kita... berdua...
Keena
mengakhiri lagunya dengan nada akhir yang memikat, memukau cowok yang tengah
duduk di sebelahnya. Suaranya mengalun lembut, penuh penghayatan. Andai cowok
di sebelahnya tahu, Keena mati-matian menahan air matanya kepada rasa yang tak
sempat terbalas. Andai cowok di sebelahnya tahu, Keena baru saja mengungkapkan betapa
lelahnya menunggu dan betapa kuatnya rasa cinta yang semu.
“Suaramu
selalu bisa membuatku tercengang, Keen,” puji cowok di sebelahnya. Keena
tersenyum.
“Terima
kasih, Ta. Dan biarkan aku mendapat apa yang sudah menjadi hakku sekarang,”
Keena melirik sebuah amplop yang menyembul dari balik punggung Deta. Cowok itu
meringis, dan segera memberikan amplop berisi surat yang ditunggu-tunggu Keena.
“Dan
akan kubiarkan kamu disini untuk membaca dengan sepenuh hati apa isi surat
itu,” ujar Deta kemudian. Dia tersenyum jahil. “Aku ada di ladang teh ayah jika
kamu membutuhkanku,” lanjutnya. Keena tersenyum dan mengangguk satu kali. Deta
mengacak-acak rambut Keena dan bangkit lalu pergi meninggalkan gadis itu
seorang diri di seberang sungai.
Keena
berdebar begitu membaca satu baris kata-kata yang tertulis di depan sampul
amplop berwarna biru muda itu. Teruntuk
gadis yang membuatku tetap kuat meski waktu memisahkan raga kita. Lalu
tersenyum begitu membaca satu nama tepat dibawah tulisan itu. Keena.
Dear Keena,
Entah apa yang membuatku begitu
takut. Kemarin malam aku memimpikanmu. Semoga kamu baik-baik saja disana.
Keena
tersenyum. Terus menelisik setiap detil kata yang tertulis rapi dalam surat
itu.
Aku hanya ingin menulis surat ini. Aku tidak
ingin mengirim e-mail atau sebaris pesan singkat. Aku merindukanmu jika aku
menulis rangkaian kata untukmu. Dan aku ingin rindu itu terus tumbuh seiring
goresan penaku yang terus mengukir namamu.
Keena...
Minggu lalu sudah kuputuskan untuk
mengakhiri hubunganku dengan Dea. Kamu tak perlu tahu apa alasanku, yang jelas
aku begitu muak dengan segala tingkahnya. Lalu, kuharap dia mengerti kenapa aku
melakukannya. Dan yang jelas itu bukan karena aku dekat denganmu, Keen. Tak
usah khawatir dan menganggap dirimu adalah penyebab putusnya hubungan kami.
Keena
tertegun. Melepas pandangannya ke sudut langit senja. Selengkung pelangi sore
menyembul diantara barisan mega merah. Keena tak percaya dengan apa yang baru
saja dibacanya.
Dea tak sesempurna yang kau bayangkan, Keen.
Kuharap kamu tak perlu lagi merendahkan dirimu ketika berbicang denganku
tentang Dea. Ah, sudahlah. Sekarang niatku menulis ini bukan untuk itu, kan?
Keena...
Lusa aku ingin mengunjungimu. Aku
ingin mengulang saat dimana kita bisa bersama-sama di kebun teh. Kamu mau menungguku
kan? Akan kubawakan sesuatu untukmu. Tetaplah disana dan tetaplah tersenyum
untukku nanti.
Kamulah alasanku untuk tetap
tersenyum menantikan pertemuan. Selalu :)
Keena
tersenyum. Kali ini lebih manis. Keena merasakan debaran dadanya menggoncang
perasaannya. Menjawab segala pertanyaan akan penantian yang ia anggap sia-sia.
Keena
menantikannya.
Dari seseorang yang begitu rapuh untuk
mengartikan sebuah pertemuan tanpamu.
Nubie.
Keena
memeluk surat itu. Menempelkannya tepat di depan dadanya. Rasanya ia hanya
bermimpi tapi entah kenapa mimpi itu terasa begitu manis. Bibirnya tak pernah
berhenti melukis senyum. Keena bahagia.
“Hey,
aku tak tahu ternyata surat itu mampu membuatmu begitu bahagia?” sebuah suara
mengagetkan Keena yang berputar-putar kegirangan di seberang sungai. Deta
tersenyum lebar. Keena juga.
“Nubie
akan datang kesini,” ujar Keena. Deta membuka mulutnya, lalu mengatupkannya
berbarengan.
“Apa?
Kesini?” tanya Deta. Keena mengangguk-angguk lalu berputar lagi. Senja menjadi
saksi satu senyum manis yang terlukis cantik di sudut bibir Keena, dan hati
yang berdebar atas rasa yang magis. []
Read Users' Comments (0)