menu menu menu 'si chubbie' :)

Cerpen: S e l a l u :)



“Jangan beri pupuk atas cinta yang tak pantas ini. Jangan beri harapan kepada rasa yang tak wajar ini,” – Keena untuk Nubie.

            Gadis itu duduk termangu di seberang sungai kecil yang mengalir tenang membatasi perbukitan kebun teh. Aroma daun teh menyebar menebar ketenangan menjelajah senja yang semakin muram. Ia terdiam sembari meletakkan dagunya diatas lutut. Memejamkan mata sembari sesekali menelisik aliran air yang bermuara di sebuah danau.
            Gadis itu masih termangu. Menunggu.
            “Keena!!” sebuah suara meneriakkan namanya. Gadis itu menegakkan lehernya, mencari asal suara. Matanya terpaku pada sebuah sosok yang datang mendekat. Seorang cowok seusianya berlarian menyebrang sungai kecil yang menghubungkan sepetak ladang teh dengan ladang teh yang lainnya.
            “Apa?” balas Keena setengah berteriak. Cowok itu tersenyum lebar sembari menaiki sebuah undakan kayu yang memanjang, sebagai jembatan sebuah sungai kecil dengan ladang teh.
            “Sebuah surat datang dari kota,” ujarnya bersemangat. Keena berbinar. Matanya bersinar begitu kata-kata itu menembus telinganya. Ia segera bangkit dan menyusul cowok yang sedang berusaha menyebrang itu. Keena berdiri di ujung jembatan kayu kecil, menanti sebuah surat yang sudah berada di genggaman tangan cowok itu. 
            “Dari Nubie?” tanya Keena tak sabar. Cowok itu mengangguk-angguk hingga sampai di ujung jembatan, tepat berdiri di depan Keena.
            “Mana? Mana?” tanya Keena sembari memperhatikan tangan cowok itu yang terlebih dulu disembunyikan di balik punggung.
            “Beri aku satu nyanyian, akan kuberikan surat ini padamu,” balas cowok itu. Keena tersenyum. Ia berjalan pelan menuju tempat dimana dia duduk tadi. Cowok itu hanya bisa mengekor Keena.
            “Lagu apa yang ingin kamu dengarkan?” tanya Keena menatap kedua bola mata cowok di sebelahnya. Cowok itu menampakkan deretan gigi-gigi putihnya, tersenyum senang dan mulai berpikir.
            “Lagu apa yang paling Keena suka?” tanya cowok itu. Keena tersenyum lagi, kali ini membuatnya semakin terlihat kalem.
            Indah, terasa indah...
            Bila kita terbuai dalam alunan cinta
            Sedapat mungkin terciptakan rasa
            Keinginan selalu memiliki...
            Keena merasakan batinnya menggelegak. Melelehkan cairan kesabaran akan penantiannya selama ini. Ia bahkan tak tahu, sampai kapan dia mampu menyanyikan kelanjutan lagu ini dengan penghayatan yang sama.
                        Namun bila itu semua...
                        Dapat terwujud dalam satu ikatan cinta...
                        Tak semudah seperti yang pernah terbayang
                        Menyatukan perasaan kita
            Tetaplah menjadi bintang di langit
            Agar cinta kita akan abadi
            Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
            Agar menjadi saksi kisah kita... berdua...
            Keena mengakhiri lagunya dengan nada akhir yang memikat, memukau cowok yang tengah duduk di sebelahnya. Suaranya mengalun lembut, penuh penghayatan. Andai cowok di sebelahnya tahu, Keena mati-matian menahan air matanya kepada rasa yang tak sempat terbalas. Andai cowok di sebelahnya tahu, Keena baru saja mengungkapkan betapa lelahnya menunggu dan betapa kuatnya rasa cinta yang semu.
            “Suaramu selalu bisa membuatku tercengang, Keen,” puji cowok di sebelahnya. Keena tersenyum.
            “Terima kasih, Ta. Dan biarkan aku mendapat apa yang sudah menjadi hakku sekarang,” Keena melirik sebuah amplop yang menyembul dari balik punggung Deta. Cowok itu meringis, dan segera memberikan amplop berisi surat yang ditunggu-tunggu Keena.
            “Dan akan kubiarkan kamu disini untuk membaca dengan sepenuh hati apa isi surat itu,” ujar Deta kemudian. Dia tersenyum jahil. “Aku ada di ladang teh ayah jika kamu membutuhkanku,” lanjutnya. Keena tersenyum dan mengangguk satu kali. Deta mengacak-acak rambut Keena dan bangkit lalu pergi meninggalkan gadis itu seorang diri di seberang sungai.  
            Keena berdebar begitu membaca satu baris kata-kata yang tertulis di depan sampul amplop berwarna biru muda itu. Teruntuk gadis yang membuatku tetap kuat meski waktu memisahkan raga kita. Lalu tersenyum begitu membaca satu nama tepat dibawah tulisan itu. Keena.
            Dear Keena,
            Entah apa yang membuatku begitu takut. Kemarin malam aku memimpikanmu. Semoga kamu baik-baik saja disana.
            Keena tersenyum. Terus menelisik setiap detil kata yang tertulis rapi dalam surat itu.
            Aku hanya ingin menulis surat ini. Aku tidak ingin mengirim e-mail atau sebaris pesan singkat. Aku merindukanmu jika aku menulis rangkaian kata untukmu. Dan aku ingin rindu itu terus tumbuh seiring goresan penaku yang terus mengukir namamu.
            Keena...
            Minggu lalu sudah kuputuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Dea. Kamu tak perlu tahu apa alasanku, yang jelas aku begitu muak dengan segala tingkahnya. Lalu, kuharap dia mengerti kenapa aku melakukannya. Dan yang jelas itu bukan karena aku dekat denganmu, Keen. Tak usah khawatir dan menganggap dirimu adalah penyebab putusnya hubungan kami.
            Keena tertegun. Melepas pandangannya ke sudut langit senja. Selengkung pelangi sore menyembul diantara barisan mega merah. Keena tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.
            Dea tak sesempurna yang kau bayangkan, Keen. Kuharap kamu tak perlu lagi merendahkan dirimu ketika berbicang denganku tentang Dea. Ah, sudahlah. Sekarang niatku menulis ini bukan untuk itu, kan?
            Keena...
            Lusa aku ingin mengunjungimu. Aku ingin mengulang saat dimana kita bisa bersama-sama di kebun teh. Kamu mau menungguku kan? Akan kubawakan sesuatu untukmu. Tetaplah disana dan tetaplah tersenyum untukku nanti.
            Kamulah alasanku untuk tetap tersenyum menantikan pertemuan. Selalu :)
            Keena tersenyum. Kali ini lebih manis. Keena merasakan debaran dadanya menggoncang perasaannya. Menjawab segala pertanyaan akan penantian yang ia anggap sia-sia.
            Keena menantikannya.
            Dari seseorang yang begitu rapuh untuk mengartikan sebuah pertemuan tanpamu.
            Nubie.
            Keena memeluk surat itu. Menempelkannya tepat di depan dadanya. Rasanya ia hanya bermimpi tapi entah kenapa mimpi itu terasa begitu manis. Bibirnya tak pernah berhenti melukis senyum. Keena bahagia.
            “Hey, aku tak tahu ternyata surat itu mampu membuatmu begitu bahagia?” sebuah suara mengagetkan Keena yang berputar-putar kegirangan di seberang sungai. Deta tersenyum lebar. Keena juga.
            “Nubie akan datang kesini,” ujar Keena. Deta membuka mulutnya, lalu mengatupkannya berbarengan.
            “Apa? Kesini?” tanya Deta. Keena mengangguk-angguk lalu berputar lagi. Senja menjadi saksi satu senyum manis yang terlukis cantik di sudut bibir Keena, dan hati yang berdebar atas rasa yang magis. []

           
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Aku Hanya Tahu Namanya []



                 Hujan baru saja reda. Genangan air hujan yang terdapat di beberapa titik jalanan kecil yang menghubungkan sekolah dengan halte itu terlihat semakin berkurang karena kecipak-kecipak dari langkah kaki murid-murid SD-SMP Cavendish II yang berlarian keluar gerbang sekolah, tak sabar menyambut ayah atau ibu mereka yang sudah menunggu di luar halaman sekolah. Ransel mereka bergoyang ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki mereka yang berubah menjadi lari-lari kecil begitu melihat orang tua mereka berada di depan mata.
            Setidaknya, ada satu gadis kecil yang tidak perlu berlari keluar dengan semangat yang menggebu. Ia berjalan dalam diam, mengamit jaket biru muda tanpa hoodie di lengan tangannya, sembari melihat ke arah teman-teman sebayanya yang berlarian dalam tawa. Beberapa dari mereka saling mengejar untuk sekedar berebut cimol atau snack berhadiah di dalamnya.
            Gadis kecil itu tersenyum memandang mereka, namun tetap tenang dalam langkah kecilnya.
“Wei wei!” seorang bocah laki-laki menabrak pundak gadis kecil itu. Gadis kecil itu hampir terjatuh sebelum tangan bocah itu meraihnya dengan satu gerakan cepat. Wajah gadis itu terlihat pucat, ketakutan. Bocah itu menarik tangan gadis itu, lalu meminta maaf.
“Maaf, aku dikejar oleh me...”
Gadis kecil itu berlalu, tanpa berkata apapun. Bocah laki-laki itu hanya bisa melongo untuk sepersekian detik berikutnya. Hanya memandang ransel turquoise itu bergerak menjauh dari pandangannya. Ia bahkan belum meneruskan kalimat permintaan maafnya, namun gadis itu sudah pergi. Tidak sopan, kan?
“Hei, aku belum selesai!” bocah itu menyamakan langkahnya dengan gadis itu. Gadis kecil itu, diluar dugaan, hanya diam dan terus berjalan. Seperti tidak terusik dengan suara ngos-ngosan di sebelahnya. “Aku minta maaf. Apa aku melukaimu?” tanya bocah itu dengan mata membulat. Kini ia berjalan mundur, tetap menyamakan langkah dengan gadis kecil itu, sambil berusaha melihat wajah gadis yang asing baginya. “Apakah kita pernah bertemu? Apakah kamu anak baru? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Namaku Vellen. Hei, hei!” bocah itu kaget saat gadis itu berlari menjauhinya, bukannya menjawab ocehan panjang lebarnya yang tidak penting. Vellen tidak mengerti, apakah dirinya sebersalah itu pada gadis itu, sampai gadis itu tidak mengucapkan sepatah katapun padanya.
Gadis itu masih tetap diam saat ia duduk sendiri di halte. Vellen masih membuntutinya sampai halte, diam-diam ia melangkah menyusul gadis itu tanpa bermaksud mendekatinya. Gadis itu, seperti tak memiliki minat untuk mengekspresikan apapun, tetap diam tenang dalam duduknya. Sesekali ia longokkan kepalanya ke arah jalan raya, lalu kembali menegakkan kepalanya ke posisi awal begitu ia tidak menemukan apapun disana. Kegiatan itu dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya seorang bocah yang sama, bersuara tepat di sebelahnya.
“Kubilang aku belum selesai berbicara. Bisakah aku melanjutkan pembicaraanku tadi?” kepala Vellen menyembul dari balik kepala gadis itu begitu ia kembali menegakkan kepalanya usai melongok ke arah jalan raya. Gadis itu terlihat kaget, namun akhirnya mengangguk meski tanpa berkata-kata.
“Apa aku melukaimu? Aku minta maaf karena tadi aku dikejar-kejar oleh kakak kelas dan tidak sengaja menabrakmu,” Vellen bersuara. Gadis itu, diluar dugaan Vellen, tersenyum dan mengangguk.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolongku,” suaranya terdengar sangat imut di telinga Vellen. Gadis itu, bagaimana bisa menjadi dua kepribadian dalam waktu yang sama? Ini aneh. Pikir Vellen.
“Kamu... anak baru? Namamu siapa?” tanya Vellen, kali ini suasana bersahabat mulai dirasakannya, hingga akhirnya dia tidak sungkan untuk duduk di dekat gadis itu.
“Iya, aku pindahan dari SMP Katterine. Panggil aja Maudy, ya?” suaranya terdengar ramah. Sangat ramah, malah. Vellen tersenyum.
“Vellen,” bocah itu mengulurkan tangan kanannya di depan Maudy. Gadis itu menerimanya dengan satu senyum kecil. Kedua tangan mereka bergoyang ke atas dan ke bawah. “Senang berkenalan denganmu,” ujar Vellen. Maudy tersenyum sambil mengangguk.
Vellen diam. Mencoba mendeskripsikan dalam hati, seorang gadis bertubuh kecil nan mungil untuk seukuran anak SMP, yang baru saja dikenalnya. Maudy terlihat manis dengan rambut berponi samping yang terselip satu jepit rambut bewarna calm peach. Kacamata frame Rayban berwarna violet terselip cantik di atas batang hidungnya. Matanya sedikit sayu, sehingga ketika ia berkedip, orang akan menganggapnya sedang memejamkan mata. Pipinya yang chubby beradu dengan bibirnya yang mungil kemerahan, membuatnya terlihat imut. Ada dua dekik kecil di pipinya ketika tersenyum, bahkan nyaris tak kentara. Vellen berhasil mendeskripsikan gadis itu dalam satu tatap muka!
            “Topimu jatuh!” suara imut Maudy menyadarkan Vellen. Ia tergagap lalu memungut topi birunya yang jatuh ke tanah basah. “Kotor ya?”
            Vellen mengangguk sambil berusaha membersihkan sisa-sisa pasir jalanan yang menempel bersama genangan air hujan. Gadis itu menyodorkan dua lembar tissue dari dalam ranselnya. “Pakai ini!” Vellen menoleh, lalu menerima pemberian Maudy.
            “Terima kasih,” Vellen baru saja selesai membersihkan topinya saat pandangannya beradu dengan pandangan Maudy yang sepertinya tidak mengarah padanya. Vellen berusaha mengikuti arah mata Maudy, hingga akhirnya ia memandang ke arah yang sama. Pemandangan seorang anak SD yang baru saja dijemput ibunya menyapa mata Vellen. Anak itu terlihat ceria, tangan kirinya menggenggam telapak tangan ibunya, dan tangan kanannya menggerak-gerakkan gula kapas yang berada di dalam gelembung plastik yang cukup besar. Mereka tertawa-tawa sambil terus melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Vellen tertegun, lalu menoleh menatap wajah Maudy. Gadis itu tersenyum miris, matanya berkaca-kaca. Jika saja Vellen tidak menepuk pundaknya, mungkin satu bulir air mata akan melesat turun dari mata sayunya.
            “Ada apa?” Vellen bersuara begitu tangannya sudah terlepas dari pundak Maudy. Maudy menatap Vellen, tersenyum lalu menggeleng perlahan. “Kamu bisa percaya padaku,” Vellen tersenyum tulus.
            “Akan ada saatnya aku bercerita. Tidak apa-apa, kan?” Maudy membalas. Hatinya menghangat begitu ucapan itu terlontar dari mulutnya. Seakan beban dalam hatinya ikut melarut bersama kata-kata singkat itu.
            “Tidak masalah,” Vellen tersenyum lebar.   
            “Maudy?” sebuah suara memanggil nama gadis itu. Maudy dan Vellen menoleh bersamaan ke asal suara. Maudy tersenyum lalu bangkit dari tempat duduknya.
            “Aku pulang dulu ya, Vellen! Senang bertemu denganmu, daah!” gadis itu, dengan senyum 50 watt-nya, mengakhiri perbincangan mereka. Vellen tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, matanya mengawasi Maudy yang kini sudah duduk di belakang jok sepeda motor bersama seorang laki-laki yang terlihat seperti ayahnya.
            Sejak saat itu, ransel turquoise itu tidak pernah terlihat lagi di mata Vellen. Tidak juga dengan senyum dengan dua dekik kecil yang nyaris tak kentara. Gadis dengan jepit calm peach itu mendadak menghilang. Seperti ditelan waktu, Vellen bahkan tidak pernah menemukannya. Kata-kata “Senang bertemu denganmu,” menjadi mantra ajaib bagi Vellen. Ia hanya berharap, entah kapan, ‘akan ada saatnya aku bercerita’ akan menjadi nyata, dan gadis itu akan benar-benar bercerita padanya. []
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Dear Ex, I Miss You!



Cinta itu pasti. Yang membuatnya tak pasti adalah harapan yang bergantung terlalu dalam~

            Lampu trotoar yang berdiri setinggi dua meter diatasku masih menyala. Menyisakan bias warna orens yang cukup samar untuk menerangi setiap detil benda yang berada di sekitarnya. Hujan sudah reda sekitar dua menit yang lalu, bersamaan dengan suara petasan yang memekakkan, disusul taburan cahaya mejikuhibiniu yang menyebar di langit Sabtu malam yang mendung. Angin bekas hujan sore dengan sensasi dingin yang menaikkan bulu kuduk tak menghentikan lalu lalang kota Malang begitu saja. Ada banyak tujuan, ada banyak alasan yang menjadikan kota Malang tak pernah sepi dari pusat perhatian.
            Salah satunya aku.
            Yang berdiri diantara ribuan orang, yang nekat menembus dinginnya udara malam kota Malang, dengan satu tujuan yang samar. Aku tak pernah tahu tujuanku berada disini, di setapak jalan yang menghubungkan jalan raya dengan alun-alun kota Malang. Aku hanya mengikuti kemana kaki bergerak, kemana hati mengawal langkahku.
            Karena tujuan yang aku harapkan tidak akan ada disini.
            1 Oktober. Membuatku mengingat banyak hal, tentang banyak cerita dan ukiran kebersamaan yang terbingkai dalam kaca kenangan tujuh tahun yang lalu. Aku tahu, kaca itu telah retak dalam waktu yang lama, tanpa kutahu apakah aku bisa memperbaikinya lagi. Aku yang membiarkannya retak terlalu lama, hingga mungkin kini telah pecah menjadi kepingan kenangan yang akan terbuang. Terlupakan.
            Aku meneguk isi minuman kaleng terakhir yang berada di genggaman tanganku. Rasanya aku sudah berjalan terlalu jauh, karena begitu aku tersadar, aku sudah berada di pintu masuk alun-alun kota Malang. Aku melempar kaleng minumanku di tong sampah yang berada tak jauh dari pintu masuk, lalu celingukan. Apa yang membuatku berada di tempat ini? Tak bisa menemukan jawaban yang pasti, otakku membimbingku untuk terus melangkah.
            Aku duduk di salah satu kursi panjang alun-alun kota Malang, sembari menatap kembang api yang meletup cantik di langit mendung Sabtu malam. Biasanya akan ada yang mengajakku tertawa begitu kembang api mulai meluncur dan meledak di tengah langit. Dia akan mengajakku berhitung kapan percikan kembang api itu menghilang saat petasan sudah diledakkan. Aku menoleh ke samping kursi yang kududuki, tersenyum membayangkan dia berada di kursi yang sama denganku saat ini.
            Membayangkannya saja membuat rindu ini semakin meledak hebat, seperti letupan kembang api yang tak pernah menyisakan percik apinya terlalu lama. Seperti rindu, yang tak pernah menyisakan harapan untuk dipertemukan. Aku merindukannya dengan cara yang sederhana.
            “Berani bertaruh? Apinya akan hilang dalam waktu empat detik dari sekarang,” sebuah suara mengudara tepat di belakangku.
            “Ya, ya. Aku percaya padamu. Duduk disini sebentar, akan kubelikan yang sudah kujanjikan tadi,” suara yang lain menimpali.
            “Oke, jangan lama-lama ya! Nanti aku diculik, haha!”
            Suara kedua sudah menghilang. Mungkin pergi seperti yang dikatakan sebelumnya. Suara pertama sekarang juga ikut diam. Aku menoleh ke belakang. Kami duduk berseberangan, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah seorang gadis yang kini asyik dengan gadgetnya. Dua detik kemudian aroma permen coklat merasuk cepat lewat kedua lubang hidungku. Aku mengenali parfum ini. Hatiku mulai berdegup tak karuan. Iramanya tak lagi teratur. Aroma permen coklat itu semakin membuatku terusik.
            Aku mencoba memastikan bahwa indera penciumanku salah. Aku menoleh lagi ke kursi belakangku, bersamaan dengan wajahnya yang juga menoleh ke arahku dengan tatapan kaget. Degup jantungku makin tak teratur, rasanya ingin mencelat keluar.
            “Kamu?!”
            Suara terakhir yang kudengar saat aku belum pulih dalam kekagetanku adalah pekik terkejut yang membuatku gugup dan kaku dalam satu waktu. “Alan?!”  
            Aku rindu kamu!
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS